Jumat, 17 Februari 2012

Biro Perjuangan, dan TNI Bagian Masyarakat


Oleh Marwati Djoened Poesponegoro,Nugroho Notosusanto
Usaha golongan kiri untuk menguasai Angkatan Perang dilakukan bertahap sejak Amir Sjarifuddin menjadi Menteri Pertahanan, Usaha pertama ialah memanipulasi badan pendidikan tentara yang dibentuk oleh Markas Tertinggi TKR. Pembentukan badan pendidikan ini diusulkan oleh beberapa perwira dalam Rapat Besar TKR bulan November 1945. Usul tersebut disetujui olch pimpinan TKR dan sebagai realisasinya dibentuk suatu komisi yang bertugas monyusun garis-garis besar pendidikan tentara. Anggota komisi terdiri atas enam orang. Selain komisi dibentuk pula staf Badan Pendidikan Tentara, yang beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat. Ketua badan itu pada bulan Februari 1946 berhasil merumuskan lima bidang pendidikan bagi TRl, meliputi politik, agama, kejiwaan, sosial, dan pengetahuan umum. Anggota-anggota badan pendidikan itu kemudian diangkat sebagai perwira TRI. Sejalan dengan perkembangan TRI, pada bulan Mei 1946 diadakan reorganisasi dalam tubuh TRI dan Kementerian Pertahanan. Dalam pertemuan dengan pemimpin TRI dan pemimpin laskar-laskar pada tanggal 24 Mei 1946, Menteri Pertahanan berhasil mendesak keinginatuiya, sehingga Badan Pendidikan ini dialihkan dari Markas Tertinggi TKR ke Kementerian Pertahanan. Namanya diubah menjadi Staf Pendidikan Politik Tcntara (Pepolit), yang akan dipimpin oleh opsir-opir politik. Pada tanggai 30 Mei 1946, 55 opsir politik dilantik oleh Menteri Pertahanan. Sebagai pimpinan Pepolit, ditunjuk Sukuno Djojopratignjo dengan pangkat Letnan Jenderal Rumusan pendidikan yang semula dianggap masuk akal itu, sejak berubah menjadi Pepolit ternyata rnenimbulkan persoalan baru dalam tubuh TRI. Para opsir politik ditugasi untuk merapatkan hubungan tentara dan rakyat. Pada tiap-tiap divisi diperbantukan lima orang opsir politik yang berpangkat letnan kolonel, semuanya adalah anggota Pesindo, pendukung Amir Sjarifuddin. Pepolit tcrnyata dieksploitasi oleh Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin untuk kepentingan politiknya sehingga tumbuh nienjadi semacam komisaris politik (komisar) seperti pada Angkatan Perang Uni Sovyet, yang berkedudukan sejajar dengan para komandan pasukan. Oleh karena itu, ditolak oleh sebagian panglima divisi dan para komandan pasukan, karena dianggap sebagai penyebar ideologi komunis. Kolonel Gatot Subroto, misalnya, mcnolak kehadiran opsir poiitik di lingkungan divisinya. Akibatnya adalah aktivitas Pepolit ini merosot di daeral-daerah. Scsuai dengan keputusan Panitia Besar Rcorganisasi Tentara, pada buian Mei 1946 Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin membentuk lembaga baru yaitu Biro Perjuangan dan dikukuhkannya Dewan Pcnasihat Pimpinan Tentara. Biro Perjuangan adalah badan pelaksana dari Kementerian Pertahanan yang bertugas menampung laskar-laskar yang semula didirikan oleh partai-partai politik. Dibentuknya Biro Perjuangan ini dilihat dari segi ketahanan nasional sesungguhnya sangat menguntungkan pemerintah. Laskar-laskar atau badan-badan pcrjuangan yang semula terpecah-pecah di dalam pelbagai kelompok ideologi dari "anak" partai poiitik, dapat disatukan dan dikendalikan oleh pemerintah. Pemerintah akan memiliki potensi cadangan yang tangguh dan besar di samping tentara reguler. Diharapkan adanya pcmbagian tugas yang serasi dan harmonis antara tentara reguler dan Laskar-laskar rakyat sebagai partisan. Biro Perjuangan juga akan merupakan pusat cadangan nasional yang menyalurkan dan mengatur tugas cadangan di dalam rangka ketahanan nasional. Tugas cadangan tidak semata-mata untuk bertempur, tetapi merupakan tenaga yang aktif dan berperan di dalam masyarakat, seperti aktivitas menambah produksi. Namun, di dalam perkembangan selanjutnya Biro Perjuangan ini dijadikan arena adu kekuatan untuk menandingi tentara reguler. Menteri Pcrtahanan Amir Sjarifuddin berusaha keras mcnguasai biro ini untuk kepentingan politiknya. Pimpinan biro ini dipegang oleh kelompok yang seideologi dengan Amir Sjarifuddin, yaitu kelompok komunis. Mereka adaiah Djokosujono dan Ir. Sakirman sehagai kepala dan wakil kepalanya, yang masing-masing mendapat pangkat jenderal mayor. Biro ini kemudian mendapat peran yang kuat setelah Kabinet Sjahrir mendapat tantangan dari keiompok Persatuan Perjuangan terutama setelah terjadi penarikan atas diri Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan pemerintah menyatakan negara dalam keadaan bahaya. Organisasi Biro Perjuangan diperluas. Pada bulan September 1946 diberi wewenang untuk mengoordinasikan barisan cadangan. Pada bulan Oktober 1946 tugasnya ditambah dengan mengkoordinasikan Dewan Kelaskaran Seberang. Bahkan mereka mewakili resimen-resimen kelaskaran dan Polisi Tentara Laskar yang berdiri sendiri secara vertikal di bawah Biro Perjuangan, Fungsi cadangan sebagaimana vang dikehendaki tidak terlaksana, bahkan dengan adanya Biro perrjuangan ini seakan-akan terdapat dua macam tentara. Kelompok Amir yang memonopoli Biro Perjuangan ini memasukkan seluruh program dan konsepsi perjuangan partainya, sehingga biro ini lebih merupakan pendukung kekuatan politik Amir daripada suatu badan resmi pemerintah. Akibatnya, terdapat dualisme dalam bidang pertahanan nasional. Di satu pihak terdapat tentara reguler di bawah pimpinan Jenderal Soedirman dan di pihak lain Laskar-laskar yang secara de facto di bawah pimpinan tertinggi Menteri Pertahanan melalui Biro Perjuangan. Laskar-laskar mempunyai posisi dan tugas yang sama dengan TRI Perbedaannya hanyalah TRI adaiah milik nasional sedangkan Laskar-laskar adalah milik partai-partai politik. Keadaan semacam ini disadari oteh pemimpin nasional, yang kemudian menyatukan dua kekuatan itu menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada bulan Juni 1947. TNI dipimpin oleh sebuah badan yang disebut Pucuk Pimpinan TNI. Keanggotaannya bersifal kolektif. Dua orang di antaranya adaiah tokoh komunis, yaknt Ir. Sakirman dan Djokosujono. Dengan dcmikian, berakhirlah peran Biro Perjuangan. Akan tetapi, berakhirnya peran Biro Perjuangan ini tidaklah berarti berakhirnya usaha Amir Sjarifuddin untuk menghimpun kekuatannya, Sebagian Lasar-laskar yang berideologi komunis tidak man bergabung dcngart TNI sccara penuh, Mcreka ditampung dalam suatu wadah yang diberi naina TNI Bagian Masyarakat yang dibentuik pada bulan Agustus 1947. Pimpinan TNI Bagian Masyarakat adaiah Ir. Sakirman yang juga duduk dalam Pucuk Pimpinan TNI. Pada tanggal 26 Oktober 1947 TNII Bagian Masyarakat mengadakan konferesi. Wakil Perdana Mentcri Sctiadjit yang separtai dan sealiran dengan Amir Sjarifuddin menegaskan bahwa TNI Bagian Masyarakat adalah jembatan antara tentara dan rakyat dalam usaha mempersatukan tenaga dalam pertahanan serta memberikan pendidikan ideologi kepada tentara. Rupanya adanya struktur organisasi Pucuk Pimpman TNI yang bersitat kolektif dimanfaatkan oleh kelompok Amir Sjarifuddin, Dengan demikian, ia berhasil menghimpun kembali kekuatan di bawah naungan nama TNI, dengan konsepsi dan garis politik yang tetap. Kebijakan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin ini memancing perdebatan sengit dalam sidang BP KNIP tanggal 12 November 1947. Beberapa anggota KNIP menuduh bahaya pembentukan TNI Bagian Masyarakat ini terlalu politis, tidak sesuai dengan konsepsi pertahanan Rakyat Semesta. Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin dan Menteri Muda Pertahanan Arudji Kartawinata menyatakan adanya TNI Bagian Masyarakat dan Pepolit, nurupakan konsekuensi dari prinsip-prinsip pertahanan yakni tentara harus mengenal poltik, agar mereka sadar membela kepetingan politik, jika pada suatu saat pertentangan politik memuncak berubah menjadi perang. Keterangan pemerinlah tersebut mendapat tantangan keras dari PNI dan Masyumi. PNI menyatakan TNI Bagian Masyarakat bukanlah tentara, melainkan organisasi politik karena hampir 100 %, pimpinannya berada di tangan Sayap Kiri. Diusulkan agar pimpinannya diubah dengan mengikut sertakan semua organisasi rakyat, sehingga tercipta suatu fighting democracy. PNI setuju di dalam prinsip, tetapi menolak monopoli kepemimpinan Sayap Kiri, Pihak Masyumi sama sckali menolak bentuk itu bahkan menganjurkan agar TNI Bagian Masyarakat dibubarkan. Pada hakikatnya TNI Bagian Masyarakat ini adalah Biro Perjuangan bentuk baru dan merupakan rangkaian usaha Amir Sjarifuddin untuk mempersenjatai kelompok organisasinya untuk tujuan jangka panjang serta mendapatkan biaya dari pemerintah, Anggota TNI Masyarakat pada masa Kabinet Amir telah mencapai jumlah 90.000 orang yang-dirasionalisasi pada waktu Kabinet Hatta.
Foto: Tampak Perdana Menteri Amir membelakangi lensa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.