Jumat, 25 Agustus 2006

Westerling adalah seorang prajurit petualang ?

Westerling bukan seorang algojo atau pahlawan. Dirinya menurut saya hanya sekedar seorang prajurit petualang, Soldier of Fortune.. Alasan saya ini didasarkan :
1. Pertama, kesimpulan saya (bukan hasil penelitian yang perlu waktu lebih banyak) diambil dari pengamatan semata dari internet. Yaitu dari Wikipedia soal tokoh Raymond Pierre Paul Westerling dan Tentara Bayaran atau Mercenaries yang sering digelari juga "Soldier of Fortune" dan juga dari sumber lain yang saya ketahui. Sebagaimana tertulis disana Westerling direkrut Belanda sebagai Sukarelawan kemudian dilatih di Inggris dalam sekolah komando. Awalnya ditugaskan bersama kesatuan Inggris di India, kemudian setelah Jepang kalah tahun 1945 ditugaskan di Sumatera Utara. Kemungkinan besar hal ini dikaitkan dengan kegiatan RAPWI (Recovery of Allied Prisonersof War). Karena keberanian dan kemampuan militernya untuk melindungi kaum interniran Eropah dikota Medan (baca. van de Velde. Surat-surat dari Sumatera) dirinya menjadi terkenal sehingga dipuja jadi pahlawan. Tapi hal ini mungkin selesai setelah perang berahir. Setelah itu orang-orang Belanda tidak seperti itu lagi. Mereka paham bahwa Westerling bukan Pahlawan lagi karena perbuatannya sebenarnya banyak yang melawan hukum.
2. Mungkin sekitar tahun 1945-1946, Westerling diangkat sebagai komandan kesatuan DST (Depot Speciale Troepen). Dan pada Desember 1946, bersama pasukannya dan pasukan lain, ditugaskan di Sulawesi Selatan untuk menangani kerusuhan yang ditimbulkan oleh pasukan Indonesia (usaha penumpasan kerusuhan ini disebut sebagai Counter Insurgency). Dalam konflik bersenjata ini Westerling bertindak diluar batas kewenangannya sebagaimana yang tertulis dalam buku hukum militer VPTL (Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger). Rupanya pemerintah Hindia Belanda amat menganggap buku VTPL merupakan pedoman counter Insurgency yang harus dipatuhi. Tindakan diluar hukum militer antara lain berbentuk apa yang diberitakan surat kabar sebagai "Peristiwa Pembantaian Westerling". Dalam poster yang beredar di Jawa, Westerling dan pasukannya dituduh telah membantai 40.000 orang penduduk, walaupun angka ini belum pernah dibuktikan kebenarannya. Menyadari ini semua dan atas desakan sejumlah petinggi di Makassar dan Batavia, pemerintah Hindia Belanda ahirnya menarik Westerling. Atas perbuatannya yang sama di Jawa Barat pada pertengahan April 1948, dilanjutkan juga perbuatan pelanggaran hukum militer ditempat lain, maka berdasarkan keputusan Panglima KNIL Jenderal Spoor pada tanggal 16 November 1948, Westerling diberhentikan sebagai komandan DST dan dinas militer. Setelah itu statusnya adalah orang sipil. Melihat kenyataan ini, kalau benar Westerling melawan ketentuan pemerintah sebagaimana peraturan hukum militer. Maka dia dikategorikan bukan algojo pemerintah, tapi petualang yang hobinya membunuh orang ?.
3. Pada akhir tahun 1949, terdengar khabar bahwa Westerling berhasil mengumpulkan sejumlah orang bersenjata, serta mengadakan latihan-latihan kemiliteran. Tidak jelas mereka berasal dari kesatuan mana ?. Tapi ini rupanya adalah para prajurit KNIL yang tidak bersedia pindah kepada kesatuan APRIS. Disamping itu dorongan bisnis petualang militer mulai berkembang karena adanya dukungan Negara Pasundan dan Darul Islam yang pikirannya sejalan untuk melawan R.I.. Jadi kebutuhan kesatuan militer swasta itu, mirip seperti yang kita dengar sekarang sebagai PMC (Private military companies) mungkin ?. Hal ini menjadi jelas ketika nama "RAPI" (Ratu Adil Persatuan Indonesia) muncul yang memiliki angkatan bersenjata bernama "APRA" (Angkatan Perang Ratu Adil). Kegiatan aksinya dimulai di Bandung tanggal 23 Januari 1950, dengan melakukan teror dan pembunuhan terhadap sejumlah anggota SILIWANGI. RAPI juga berhasil melibatkan Jenderal Mayor Hamid Alkadri, Sultan Pontianak dan menteri kabinet RIS. Tapi mungkin karena kurang bisa berpetualang, Hamid akhirnya ditangkap dan dipenjara selama 10 tahun. Demikian pula pasukan APRA yang tidak berhasil ditumpas APRIS, semuanya jadi penghuni penjara-penjara militer. Westerling sendiri, atas dukungan sejumlah pejabat sipil dan militer, berhasil diloloskan keluar negeri. Inggris yang menangkapnya di Singapura, menolak untuk mengextradisikannya kembali ke Indonesia. Kasus Westerling sebagaimana biasanya suatu kesatuan tentara petualang yang bukan liar tapi tidak resmi, adalah sebuah operasi intelijen untuk melumpuhkan lawan. Setelah tidak berguna lagi, jejaknya harus dihapuskan. Setelah kembali ke Belanda melalui Belgia pada April 1952, Westerling bebas-bebas saja selaku warga negara Belanda lainnya. Dan pemerintah Indonesia juga tidak terlalu antosias untuk mempersoalkannya. Justru Duta besar Indonesia menjadi amat tersinggung karena dengan sombongnya Westerling pernah mengatakan bahwa dia enggan membunuh Presiden Soekarno ketika berpetualang di Indonesia, karena Bung Karno hanya berharga 5 sen, sedangkan proyek itu memerlukan sebuah peluru seharga 35 sen. Sungguh sangat keterlaluan.......Insting petualangannya belakangan pernah akan kejadian lagi, ketika Amerika menawarkan bisnis tersebut dalam perang Vietnam. Kelanjutannya tidak jelas. Mimpi-mimpinya jadi seorang konseptor pembangunan kesatuamn militer swasta mungkin dapat menginspirasikan pembuatan novel bak cerita Dogs of War atau The Wild Geese, barangkali ?
Foto, Westerling dihari tuanya, hidup tenang di Belanda.

Rabu, 23 Agustus 2006

F.J.GOEDHART DALAM KENANGAN

Wartawan senior Rosihan Anwar menulis dikoran KOMPAS pada tanggal 16 Agustus 2006 tentang pengalaman pribadinya menghadiri malam resepsi di istana Yogya pada tanggal 17 Agustus 1946. Bersamanya adalah wartawan Frans J.Goedhart. Siapakah F.J.Goedhart ini ?.
Dia dilahirkan dikota Amsterdam pada tanggal 25 Januari 1904 dan meninggal 3 Maret 1990. Karirnya dimulainya sebagai anggota partai komunis Belanda sampai tahun 1934. Kemudian tidak berpartai sampai tahun 1946. Sejak februari 1946 sampai Mei 1970 anggota partai buruh Belanda atau Pvda (Parrtij van de Arbeid). Sejak tahun 1970 sampai ahir hayatnya merupakan anggota partai DS ‘70 (Democratisch Socialisten). Selama hidupnya dia mengabdi pada bidang kewartawanan. Pernah menjadi wartawan koran “de Telegraaf” pada tahun 1924—1926. Dan “Het Parool’ pada tahun 1945—1946. Pada tahun 1945—1946, Frans Goedhaert diangkat menjadi anggota Tweede Kamer (Parlemen Belanda). Saat itulah dia berkunjung ke Indonesia. Ketika pulang ke Belanda dibuatnya karangan yang amat menarik berjudul “Terug uit Djokja”. Selain tulisan Rosihan, nampaknya Frans Goedhart bukan orang asing untuk Republik Indonesia. Pembelaannya terhadap republik muda bekas jajahan bangsanya amat tulus dan bersifat pembelaan. Cobalah simak tulisan pada “Documenta Historica” halaman 383 ini : AGUSTUS 20.1946. Frans Goedhart seorang wartawan dan anggota parlemen Belanda, ketika mengunjungi Djokjakarta pada hari ulang tahun pertama Republik Indonesia menerangkan kepada wartawan dikota tersebut, bahwa apa yang disampaikan kepadanya sebelum berangkat , yaitu dibagian dalam Djawa keadaan kacau, adalah tidak benar sekali. “Saya telah mempersaksikan sendiri keadaan disini” kata Goedhart. “Tidak ada tanda-tanda terjadinya perampasan rumah, pembunuhan atau kerusuhan2”. Bicara tentang kemungkinan-kemungkinan , bahwa pertikaian politik antara Indonesia-Belanda dapat dibereskan dengan selekasnya, ia menyatakan bahwa ia agak cemas karena penyelesaian secara damai tampak-tampaknya sulit pada waktu ini dan ditegaskannya bahwa Bangsa Belanda semestinya menjalankan daya upaya sedapat-dapatnya untuk menghindari peperangan. Goedhart menerangkan, “Kami Bangsa Belanda tidak bermaksud menjadi tuan disini, juga kami tidak berkeinginan menjadi wali, akan tetapi kami berkehendak menjadi kawan Bangsa Indonesia dst. Goedhart sebuah nama yang sesuai dengan sifatnya yang baik hati.

Senin, 21 Agustus 2006

Pangeran Antasari dari Kesultanan Banjar

p
Siapakah Pangeran Antasari ? . Kalau kita bertanya hal tersebut, anak muda Jakarta pasti menunjuk salah satu jalan di Jakarta Selatan . Tapi adakah yang mengenalnya ?. Amat terbatas. Padahal BI akan melukis pada mata uang yang akan diterbitkan sebentar lagi. Rupanya dibanding dengan Jawa dan Sumatera, Kalimantan amat terbatas memunculkan pahlawan-pahlawannya. Dari yang sedikit itu, terdapatlah nama Antasari. Beliau sempat melakukan peperangan dengan Belanda pada abad ke 19. Belanda melaksanakan perang kolonialnya, antara lain dengan maksud melakukan annexasi wilayah Kalimantan Selatan. Sebagaimana tertulis dalam sejarah nasional, Banjarmasin merupakan pusat kesultanan yang cukup maju. Tapi pada permulaan abad ke 19, relatif mereka sudah dikuasai pihak Belanda. Ketika Sultan Adam (1825-1857) meninggal dunia, Belanda mengangkat cucunya yaitu Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan. Putra Sultan Adam yaitu Pangeran Abdulrachman, ayah Tamjidillah, telah meninggal lebih dahulu pada tahun 1852. Pengangkatan ini rupanya menimbulkan masalah, karena Ibu Tamjidillah adalah orang Cina yang merupakan hal amat memberatkan masyarakat muslim untuk dapat menerimanya. Apakah ini berkaitan soal sara barangkali, tentunya perlu dilakukan penelitian kearah itu. Tapi rupanya keberatan lain pada pengangkatan Tamjidillah, adalah kesenangannya pada minuman keras dan bermabuk-mabukan. Rupanya kalangan umum lebih menyukai putra Abdulrachman yang lain yaitu Pangeran Hidayatullah. Dia selain putra dari Ibu bangsawan, juga berperangai baik. Tetapi Tamjidillah sudah didukung dan ditetapkan Belanda sebagai suksesor. Keruwetan politik dalam negeri Kesultanan banjar ini ahirnya menimbulkan meletusnya Perang banjar selama 4 tahun (1859 – 1863). Pada periode konflik fisik itulah, yaitu pada tahun 1859, muncul seorang pangeran setengah baya yang telah disingkirkan haknya, memimpin perlawanan terhadap Belanda. Dialah Pangeran Antasari yang lahir tahun 1809. Pangeran berwajah ganteng ini, telah bekerja sama dengan para petani. Dua tokoh pimpinan kaum petani saat itu Panembahan Aling dan Sultan Kuning, telah membantu Antasari untuk melancarkan serangan besar-besaran. Mereka menyerang pertambangan batubara Belanda dan pos-pos misionaris serta membunuh sejumlah orang Eropah. Sehingga pihak Kolonial mendatangkan bantuan besar-besaran. Antasari kemudian bergabung dengan kepala-kepala daerah Hulu Sungai, Marthapura, Barito, Pleihari, kahayan, Kapuas, dan lain-lain. Mereka bersepakat mengusir Belanda dari Kesultanan Banjar. Maka perang makin menghebat, dibawah pimpinan Pangeran Antasari. Pernah pihak Belanda mengajak berunding, tetapi Pangeran Antasari tidak pernah mau. Daerah pertempurannya meliputi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Pada tahun 1862 Pangeran Antasari merencanakan suatu serangan besar-besaran terhadap Belanda, tetapi secara mendadak, wabah cacar melanda daerah Kalimanatan Selatan, Pangeran Antasari terserang juga, sampai ia meninggal pada 11 Oktober 1862 di bayan Begak, Kalimantan Selatan. Kemudian ia dimakamkan di Banjarmasin. Perlawanan orang Banjar ahirnya bisa mulai ditumpas pada tahun 1860, meskipun untuk ini dibutuhkan beaya sangat besar. Lalu sejak saat itu, pihak Kolonial menghapus kerajaan Banjar, Namun demikian pertempuran masih berlangsung terus dan baru berahir secara total pada tahun 1863. Setelah Antasari wafat, kepemimpinan rakyat Banjar dilanjutkan oleh keturunan dan kerabatnya. Sebagaimana ditulis dalam Banjarmasin Post, 19 Agustus 2006, rupanya gambar yang menjadi referensi wajah untuk lukisan pada uang kertas yang akan datang itu, masih disangsikan kebenarannya. Tidak kurang janda almarhum pelulkisnya yang bernama Hasan Salman, menyatakan bahwa lukisan itu fiktif dan merupakan campuran dari 5 wajah orang. Nyatakah Pangeran Antasari ?. Tentu saja, bukankah ada makamnya !. Lalu kenapa tidak ada foto atau lukisan dirinya itu ?. Inilah pentingnya sejarah kita, sejarah nasional yang harus ditekuni penelitiannya dengan baik. Supaya jasa orang yang katanya amat besar ini dapat dilestarikan bagi anak cucu. (RSH)

Kamis, 17 Agustus 2006

Mengenang HUT Kesatu Proklamasi



Serdadu dari divisi India Fighting Cock tentara Sekutu mengepung kediaman PM Sutan Sjahrir di Pegangsaan Timur 56, Jakarta, untuk mencegah jangan masuk orang menghadiri upacara keesokan hari yaitu peresmian Tugu Kemerdekaan yang didirikan di halaman muka. Namun, waktu senja mulai berdatangan gadis-gadis berpakaian putih yang semalam-malaman memasang lilin sekitar tugu bersahaja, kecil, terbuat dari batu dan semen. Rombongan gadis itu bisa lolos menerobos lingkaran serdadu-serdadu Sekutu. Mereka amat bersemangat menghadiri upacara peresmian Tugu Kemerdekaan yang dilakukan PM Sjahrir. Masa itu, Sjahrir disapa akrab dengan panggilan Bung Kecil. Tugu itu bisa didirikan atas inisiatif sekumpulan kaum perempuan yang secara menantang memberi kesaksian atas keberadaan Republik Indonesia yang diproklamasikan satu tahun lalu. Kini Tugu itu, bersama rumah kediaman Presiden dan Perdana Menteri, tempat proklamasi kemerdekaan diumumkan Soekarno-Hatta, telah
digusur atas "petunjuk" Presiden Soekarno. Sepotong sejarah telah hilang. Tiada pernah lagi generasi muda dapat bertamasya melihat-lihat bagaimana rupa dan keadaan rumah tempat proklamasi kemerdekaan diucapkan. Saya tidak hadir pada peresmian Tugu Kemerdekaan di Jakarta karena berada di Yogyakarta menghadiri perayaan HUT pertama proklamasi di Gedung Negara tempat kediaman Presiden Soekarno yang sejak tanggal 4 Januari 1946 bersama Wapres Hatta hijrah dari Jakarta. Naik andong bersama Mien Usmar Ismail, wartawan Belanda Frans Goedhart dan Dolf Verspoor pada malam tanggal 17 Agustus, saya menyisir Jalan Malioboro menuju gedung yang di zaman kolonial merupakan kediaman Gouverneur Adam. Yogyakarta kurang tenaga listrik, jalanan kelam taram temaram. Bendera Merah Putih tidak begitu banyak. Trotoar Malioboro dilalui rakyat yang mondar- mandir. Tiba depan halaman Gedung Negara tampak rakyat yang menonton dari luar. Tidak banyak. Penjagaan polisi tidak ketat. Pengawal presiden seperti zaman sekarang belum ada. Protokol berjalan santai. Kesan umum yang diperoleh ialah serba kesederhanaan, keterbatasan. Segera kami berdiri dalam barisan menunggu giliran menyampaikan selamat kepada Presiden Soekarno dan Wapres Hatta. Acaranya biasa-biasa saja. Presiden mengucapkan pidato, tidak dengan suara menggelora.
Segalanya berlangsung dengan sober atau seadanya. Ruangan tidak terang benderang hingga saya agak sukar mengenali orang. Sugandi, ajudan Presiden, tentu jelas kelihatan, begitu pula Ruslan Batangtaris, ajudan Wapres. Ada saya lihat tubuh gempal Kolonel Djoko Suyono dari Badan Perjuangan, kelak jadi tokoh pemberontakan PKI di Madiun 18 September 1948, beserta pemimpin pemuda Sumarsono yang masih hidup dan kini berdiam di Australia. Saya lihat Boes Effendi dari PRI (Pemuda Republik Indonesia) yang kelak menjadi diplomat. Kedua wartawan Belanda yang ikut bersama saya ialah Frans Goedhart, pemimpin redaksi surat kabar Het Parool, anggota Partij van den Arbeid dan Nazi Jerman. Frans tersohor sebagai penulis dengan nama samaran Pieter ’t Hoen. Dolf Verspoor kendati warga Belanda bekerja untuk kantor berita Perancis, AFP. Dolf pengagum sajak-sajak Chairil Anwar dan kelak memperkenalkan puisi Indonesia kepada publik Belanda dan Perancis. Kedua wartawan itu tidak memakai setelan baju lengkap, hanya mengenakan seragam pantalon kemeja warna coklat muda seperti yang dipakai tentara Amerika. Berangsur-angsur barisan bergerak. Frans Goedhart yang berada di muka sudah berjabatan tangan dengan Presiden Soekarno dan Wapres Hatta. Dolf Verspoor menyusul, tetapi ketika dia mengulurkan tangannya ke arah Ny Fatmawati tahu-tahu Ibu Negara yang memakai kerudung itu tidak mau bersalaman. Dolf yang rupanya mengerti situasi dengan cepat hanya menundukkan kepala sejenak sebagai tanda memberi hormat, lalu berjalan terus. Saya pikir mungkin Ny Fatmawati tidak mau salaman karena Dolf adalah orang Belanda, "musuh kita". Atau mungkin karena Dolf bukan muhrim, dan menurut tafsir fikih tidak boleh bersentuhan secara fisik? Dolf kemudian tidak bicara tentang "insiden" itu. Saya juga diam saja. Sebab, kejadian tadi saya rasakan agak pijnlijk atawa menyakitkan. Frans Goedhart berkomentar atas pidato Presiden, "Fair on met open vizier, zo is Soekarno" (gagah berani dan dengan pandangan terbuka, begitulah Soekarno). Seorang wartawan lain ialah Graham Jenkins dari surat kabar Australia, The Age. Dia tidak bersama saya, tetapi ikut Soedarpo Sastrosatomo dari Penerangan Luar Negeri Kementerian Penerangan yang biasa membawa koresponden luar negeri ke pedalaman meninjau situasi nyata Republik. Graham yang pro-Republik menulis, "Penduduk Yogya masih dapat makanan cukup dan di toko-toko masih bisa dibeli cukup barang. Ongkos penghidupan murah. Jalan-jalan penuh dengan serdadu, tetapi jumlah kendaraan bermotor kurang. Bensin cukup di Republik, tetapi persediaan ban mobil payah". Inilah sekelumit kenangan wartawan tentang keadaan 60 tahun silam, saat saya jadi redaktur pertama harian Merdeka.
KOMPAS - Rabu, 16 Agustus 2006 H Rosihan Anwar Wartawan Senior

Minggu, 13 Agustus 2006

Sekitar Proklamasi 5


Pada perundingan dirumah Maeda ada rencana untuk menyelenggarakan Proklamasi di Ikada. Tapi ternyata, pada tanggal 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diselenggarakan dimuka rumah Soekarno dijalan Pegangsaan Timur no 56. Soediro (Mantan Walikota saat tahun 1945 menjabat wakil kepala barisan Pelopor) bercerita. Sejak tanggal 14 Agustus 1945, dia menugaskan Soehoed (tampak dalam foto proklamasi seorang pemuda bercelana pendek) dan beberapa orang pelopor istimewa untuk menjaga keluarga Soekarno. Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam hari, Soehoed melaporkan bahwa telah datang Soekarni dan Chaerul Saleh dan kawan-kawannya. Soehoed tidak curiga karena Caherul juga anggota pelopor istimewa. Demikian juga ketika Soekarno sekeluarga dibawa pergi tidak ada kecurigaan sebagai peristiwa penculikan. Pada mereka timbul semangat lagi ketika Soekarno kembali pada tanggal 16 Agustus 1945 malam hari. Berkaitan dengan perintah Dr Muwardi (pimpinan barisan Pelopor) untuk melakukan persiapan upacara 17 Agustus 1945, Soediro memanggil para pembantunya untuk turut menyebarkan akan adanya acara sangat penting pada tanggal 17 Agustus 1945. Misalnya K.Gunadi diserahkan tugas untuk menyampaikan instruksi tertulis yang ditujukan pada para anggota barisan pelopor istimewa dan eksponen barisan pelopor lainnya. Sedangkan Daitai-daitai di kawedanaan dan Cutai-cutai dikecamatan banyak yang sudah dihubungi sendiri, secara pertilpun atau perkurir. Instruksinya antara lain, berkumpul dilapangan Ikada tanpa membawa panji pelopor pada jam 11.00 untuk keperluan menghadiri upacara penting. Ketika dengan bersepeda Soediro pagi harinya menuju Ikada, dia heran karena melihat disitu banyak Jepang bersenjata. Timbul pertanyaan dibenaknya, apakah berita sudah bocor ?. Dia lalu menghubungi Dr Muwardi dirumahnya dan dari penjelasan Dr Muwardi ternyata Proklamasi tidak jadi di Ikada tapi dirumah Soekarno. Maka dengan cepat disebarkanlah pembetulan informasi bahwa pelaksanaan proklamasi dipindahkan di Pegangsaan Timur 56. Kepada Soehoed diperintahkan untuk menyiapkan tiang bendera tepat dimuka kamar depan, hanya beberapa meter dari teritis rumah. Setelah itu Soediro pulang kerumahnya sebentar. Ketika dia kembali dilihatnya telah hadir Soewirjo, Dr Muwardi, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani, Trimurti dan masih banyak lagi. Tidak tampak wajah Wikana, Soekarni, Chaerul Saleh maupun Adam Malik. Dimuka beranda rumah sudah terpasang mikrofon dan versterker (amplifier) yang disewa dari Gunawan pemilik perusahaan jasa penyewaan sound system “Radio Satrija” yang beralamat dijalan Salemba Tengah no.24. Acara proklamasi sederhana ini mengikuti mata acara yang dipersiapkan yaitu : Pembacaan proklamasi oleh Soekarno disambung pidato singkat, Pengerekan bendera merah putih, Sambutan Soewirjo dan Sambutan Dr Muwardi. Pada acara pertama, Soekarno membaca Proklamasi yang sudah diketik Sajuti Melik dan telah ditandatangani Soekarno-Hatta (foto 1 dan 2). Kemudian Soekarno berpidato singkat tanpa teks. Untuk pengerekan bendera awalnya diminta kesediaan Trimurti, tapi dia menolak lalu mengusulkan sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Maka Latif Hendraningrat, yang masih memakai seragam lengkap PETA, maju kedepan sampai dekat tiang bendera. Soehoed didampingi seorang pemudi muncul dari belakang membawa sebuah baki nampan berisi bendera Merah Putih (bendera pusaka yang dijahit Fatmawati beberapa hari sebelumnya). Maka dikereklah bendera tersebut oleh Latif dibantu Soehoed. Setelah berkibar, spontan hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Melihat foto (3) Proklamasi, nampak membelakangi lensa Fatmawati dan Trimurti. Tampak Soekarno bersama Hatta lebih maju dari tempat berdiri saat pembacaan proklamasi. Sebuah foto lain (4) yang diambil dari belakang Soekarno, menggambarkan para hadirin lainnya yang berdiri dekat tiang bendera. Mereka terdiri dari para pemuda-mahasiswa Ika dai Gakko. Pada acara ketiga, Soewirjo yang dizaman Jepang menjabat wakil walikota berpidato. IPPHOS juga mengabadikan peristiwa ini. Namun sampai hari ini tiada dokumen yang menjelaskan apa yang diucapkan Soewirjo. Demikian juga tidak ditemukannya naskah pidato Dr Muwardi yang akan mengisi acara keempat. Karena tiadanya dokumen, timbul pertanyaan apakah Dr Muwardi benar-benar berpidato ? Setelah upacara selesai berlangsung, tiba-tiba masuk sambil berlari kurang lebih 100 orang anggota pelopor yang dipimpin S.Brata. Mereka tidak tahu terjadinya perubahan tempat, sehingga ketinggalan acara. Namun menuntut terus agar Soekarno membacakan lagi Proklamasi. Ahirnya Soekarno yang sudah masuk kamar, keluar lagi dan menjelaskan melalui mikrofon bahwa pembacaan Proklamasi tidak dapat diulang. Karena masih kurang puas mereka minta kepada Hatta untuk memberikan amanat singkat. Hatta kemudian meluluskannya. Yang juga terlambat adalah Dr Radjiman Wedjodiningrat dan beberapa anggota PPKI. Dalam buku Lahirnya Republik Indonesia, Soebardjo mengaku dibangunkan utusan Soekarno agar datang ke Pegangsaan Timur 56, tapi dia mengirim pesan minta maaf karena kelelahan akibat perjalanan pulang pergi Jakarta-Rengasdengklok dan mengikuti rapat dirumah Maeda. Soebardjo memang tidak nampak saat proklamasi. Setelah acara selesai, Soediro dan Dr Muwardi memilih 6 orang anggota barisan pelopor istimewa, pelatih pencak silat menjadi pengawal Soekarno-Hatta Kelompok ini dipimpin oleh Soemartojo. Sampai selesainya proklamasi fihak Jepang tidak menyadari apa yang telah terjadi. Mereka baru datang setelah Hatta pulang kerumahnya. Tiga orang perwira Jepang yang datang ini mengaku diutus Gunseikanbu untuk melarang Proklamasi. Tapi Soekarno yang menghadapinya dengan tenang, menjawab bahwa Proklamasi sudah dilaksanakan. (diambil dari berbagai sumber sekitar Proklamasi)

Jumat, 11 Agustus 2006

Sekitar Proklamasi 4

Didalam tulisannya "Legenda dan Realitet" dalam Mimbar Indonesia tanggal 17 Agustus 1951 (no 32/33), Bung Hatta bercerita bahwa sekembali dari Rengadengklok kekuasaan jatuh kembali ketangan Soekarno-Hatta. Selanjutnya atas kesediaan Laksamana Maeda meminjamkan rumahnya, maka diselenggarakanlah pertemuan para pemimpin bangsa di Jakarta. Lewat tengah malam setelah mengadakan perundingan dengan Sumobutjo (saat itu dijabat oleh Kolonel Nishimura) ternyata Jepang telah mengambil sikap sebagai jurukuasa yang menerima perintah dari sekutu. Artinya pola Dalat untuk menyelenggarakan Kemerdekaan Indonesia dianggap tidak berlaku lagi. Maka pertemuan yang dihadiri oleh segala anggota Badan persiapan (maksudnya PPKI), wakil pemuda dan wakil-wakil beberapa golongan dalam masyarakat dilanjutkan. Dalam sidang ini atas anjuran golongan pemuda, ditetapkan dengan suara bulat bahwa Proklamasi Indonesia merdeka hanya ditanda tangani oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia. Dapat dibayangkan bahwa peristiwa pembuatan rancangan naskah Proklamasi tidak terlalu istimewa. Hatta membacakan, Soekarno menulis. Disana-sini dicoret dan diperbaiki...selesailah. Semua biasa-biasa saja, berjalan lancar sesuai dengan harapan semua orang. Konsep tulisan Soekarno ini lalu diketik oleh Sayuti Melik dan dibacakan kembali dimuka hadiri. Rencana untuk mengadakan Revolusi seperti yang digembar gemborkan para pemuda, tidak terjadi. Bahkan untuk ini Soekarni berkeliling kota memberi tahu bahwa gerakan demo tidak jadi dilaksanakan hari itu. Bung Hatta menyambung ceritanya : "Menurut pendapat kami Proklamasi Indonesia merdeka harus ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia karena mereka dianggap mewakili seluruh Indonesia. Jika perlu ditambah dengan beberapa anggota lainnya yang mewakili berbagai golongan dalam masyarakat. Sekalipun utusan dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil dan Maluku itu diangkat oleh Jepang, suara yang mereka perdengarkan untuk menyatakan Indonesia merdeka adalah suara dan cita-cita rakyat. Dengan ikutnya mereka terdapatlah simbul persatuan seluruh Indonesia. Rasa persatuan Indonesia itulah sangat penting dalam menyelenggarakan Revolusi Nasional. Dan rasa persatuan kedalam itu lebih penting dari pertimbangan yuridis dari luar apakah badan itu diangkat oleh Jepang atau tidak". Keadaan ini memberikan gambaran jelas kepada kita, bahwa pada tanggal 16 Agustus 1945 menjelang tanggal 17 Agustus 1945 itu, sebenarnya iklim Demokrasi sudah muncul. Rasanya persatuan yang diwarnai oleh kesadaran kebangsaan jauh lebih penting dari pada rasa persatuan untuk satu tujuan dan cita-cita yang ditentukan atau dipaksakan oleh satu atau sekelompok orang. (foto : Rumah Maeda, jl Imam Bonjol 1 Jakarta)

Kamis, 03 Agustus 2006

Sekitar Proklamasi 3

Adalah Shodancho Singgihlah (merupakan perwira PETA dari Daidan I Jakarta) yang memimpin penculikan dwitunggal Soekarno-Hatta ini menuju Rengasdengklok. Mereka tiba tanggal 16 Agustus 1945 sekitar jam 08.10 (waktu Tokyo). Para tokoh PETA dan pemuda yang datang bersamanya adalah Chudancho Dr Soetjipto, Soekarni dan Joesoef Koento. Singgih, Dr Soetjipto dan Joesoef Koento tidak sampai siang hari, telah meninggalkan Rengasdengklok. Cudan Rengasdengklok (setingkat kompi) dipimpin oleh Chudancho Subeno. Chudan ini memiliki 3 buah Shodan (setingkat pleton) yaitu Shodan 1 dipimpin Shodancho Suharjana, Shodan 2 dimpim-pin Shodancho Oemar Bahsan dan Shodan 3 dipimpin Shodancho Affan. Disamping mereka juga ada Honbu (staf) yang dipimpin oleh Budancho senior yaitu Martono. Honbu memiliki kelengkapan petugas urusan persenjataan, keuangan, makanan dan dapur, pakaian, kesehatan, trompet dan juru bahasa. Ketika Soekarno-Hatta, fatmawati dan Guntur tiba, hari sudah terang. Para prajurit menyambut para tetamu setengah tawanan ini. Mereka berteriak : "Hidup Bung Karno, Hidup Bun Hata. Indonesia sudah merdeka. Jepang sudah modar (mati)", dan sebagainya. Untuk sementara para pemuka bangsa ini ditempatkan dirumah Chudancho Subeno. Tapi khawatir menyolok, kemudian dipindahkan kerumahnya seorang China bernama Giau I Siong. Rupanya dipelopori para prajurit PETA, diwilayah Rengasdengklok sudah terjadi perebutan kekuasaan dan pernyataan kemerdekaan. Ini terbukti dengan berkibarnya bendera merah putih dimana-mana. Rakyatpun sudah berkumpul terutama dimuka Chudan. Pada jam 9.00 pagi (waktu Tokyo) Wedana Mitsui, bersama stafnya orang Jepang dan sejumlah Jepang lainnya sudah ditawan. Lalu sebagai pimpinan daerah baru, diangkat Camat Sujono Hadipranoto. Para pemuda dalam organisasi Seinendan dan Kibodan diaktifkan. Peresmian pergantian pimpinan dan pernyataan kemerdekaan ini diadakan dilapangan kecamatan dimana Hadipranoto bertindak selaku inpektur upacara dan pakai berpidato segala. Dilakukan upacara penurunan Hinomaru (bendera Jepang) dan penaikan sang Merah Putih. Rupanya cukup hikmat juga, sehingga beberapa orang menitikkan air mata. Sekitar jam 11.00, rombongan lain bertambah yang datang ke Chudan antara lain Syuchokan (residen) Soetardjo Hadikoesoemo, Kenco Purwakarta (Bupati) Pandu, Fuku Kencho Purwakarta (patih) Djuarsa, Soncho Batujaya (camat) Bunyamin. Kedatangan mereka tidak sengaja kebetulan saja karena berada disekitar Rengasdengklok karena sedang mengontrol padi. Otomatis mereka setengah ditahan di Chudan. Setelah tengah hari Soetardjo bergabung dengan rombongan Soekarno-Hatta. Perlu diketahui, saat pagi hari Chudancho Soebeno sedang berada di Purwakarta. Baru tengah hari dia datang di Rengasdengklok. Pada jam 17.00 tiba di Rengasdengklok Mr Soebardjo diantar Joesoef Koento dan Shodancho Sulaiman. Maksudnya mau menjemput Soekarno-Hatta. Setelah itu rombongan yang baru datang ini dipertemukan dengan Soekarno-Hatta termasuk Soetardjo. Pada jam 18.00 perundingan dimulai. hasil perundingan Soekarno-Hatta setuju diadakan Proklamasi setelah kembali ke Jakarta. Jam 19.30 rombongan kembali ke Jakarta. Foto atas memperlihatkan, Rumah Giau I Siong yang dipakai rombongan Soekarno-Hatta. Foto dibuat sekitar tahun 1950-an. (Sumber tulisan : PETA dan Peristiwa Rengasdengklok oleh Oemar Bahsan, NV Melati Bandung.1955)