Rabu, 28 Oktober 2009

Ruma Maida


Penulis tanggal 28 Oktober 2009 diundang pada gala premier film "Ruma Maida". Komentarnya "Bagus". Mungkin filmis bagi Penulis cerita, Sutradara, maupun karyawan film ini lainnya, masih banyak yang harus ditingkatkan dan dikembangkan khususnya pada produksi yang lain. Tentu saja agar hasil karya mereka khususnya pada waktu yang akan datang maupun produksi film Nasional pada umumnya akan senantiasa lebih baik dan lebih bagus. Mungkin yang perlu disoroti meskipun film ini hanya "Fiksi" semata, tapi misinya amat terkait pada sejarah kontemporer Indonesia. Film bercerita tentang seorang gadis Batak cantik bernama Maida (diperankan Atiqah Hasiholan sebagai Maida) yang bertentangan dan berkonflik dengan Dasaad Muchlisin (diperankan oleh Frans Tumbuan). Film dikemas secara bolak balik tentang masa lalu dan sekarang. Masa lalu sarat dengan kisah berdasarkan sejarah seperti perjuangan merintis Kemerdekaan, bangsa Belanda berkuasa di Indonesia, kedatangan Jepang, Revolusi Kemerdekaan sampai Revormasi. Ada beberapa kesan yang muncul. Pertama kedudukan bangsa Belanda dan bangsa Jepang dalam alam Revolusi Kemerdekaan periode 1945-1949. punya kedudukan tersendiri yang sedikit berbeda pada pencitraan film Indonesia yang pernah berlaku. Meskipun hanya terwakili oleh Ishak Pahing dan kakaknya Hans Schmutzer , Penulis-Sutradara ingin menempatkan bahwa ada bangsa Belanda yang baik dan berguna bagi perjuangan Bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Pembenaran tersebut amat kuat tanpa ada penjelasan mengapa ? Sedangkan Kolonel Maruyama mewakili Jepang dicitrakan sebagai sosok tokoh Jepang yang licik dan kejam meskipun ada baiknya juga karena menyelamatkan anak Ishak Pahing dan Nani Kudus yang tidak lain adalah Dasaad Muchlisin sendiri. Fokus cerita soal perebutan rumah tua yang akhirnya bisa selesai karena bagi Dasaad Muchlisin belakangan menjadi jelas bahwa dirinya amat melekat pada sejarah rumah tersebut yang merupakan rumah ayah ibunya dimana dia dilahirkan. Bagi yang belum biasa model cerita bolak balik ini memang agak bingung. Tapi mungkin disitulah tantangannya kecerdasan anda diuji untuk memahami cerita film tersebut. Silahkan menonton.

Selasa, 27 Oktober 2009

Erasmus

Tanggal 27 Oktober 1466 adalah hari lahir dari Desiderius Erasmus
, tokoh Filsuf Eropah. Berarti hari ini adalah ulang tahunnya yang ke 543 .
Gunawan Muhamad diminta memberikan kuliah tentang Humanisme terkait pada tokoh ini. Dibawah adalah tulisannya yang bisa dijumpai pada http://www.tempoint eraktif.com/ hg/caping/ /2009/10/ 26/mbm.20091026. CTP131796. id.html
------------------------------------------------------------------------
Senin, 26 Oktober 2009Ini akhir pekan Erasmus.
Saya diminta bicara tentang humanisme dalam pandangan Indonesia untuk ulang tahun tokoh humanisme Eropa yang lahir 27 Oktober 1466 itu di Erasmus Huis, Jakarta. Saya tak tahu banyak tentang humanisme abad ke-15 Eropa, dan yang pertama kali saya ingat tentang Erasmus adalah apa yang dikatakan Luther tentang dia. Bagi Luther, pemula Protestantisme yang pada akhirnya mengambil posisi yang tegas keras menghadapi Gereja itu, Erasmus ibarat ”belut”. Licin, sukar ditangkap.Erasmus memang tak selamanya mudah masuk kategori, tak mudah menunjukkan di mana ia berpihak, ketika zaman penuh hempasan pertentangan keyakinan theologis. Pada mulanya ia membela Luther, ketika pembangkang ini diserang dan diancam, tapi kemudian ia menentangnya, ketika Luther dianggapnya semakin mengganas dalam menyerang Roma. Dalam sepucuk suratnya kepada Paus Adrianus VI, Erasmus sendiri mengatakan, ”Satu kelompok mengatakan hamba bersetuju dengan Luther karena hamba tak menentangnya; kelompok lain menyalahkan hamba karena hamba menentangnya….”Bagi Erasmus, sikapnya menunjukkan apa yang disebut di zamannya sebagai civilitas. Dalam kata-kata sejarawan Belanda terkemuka, Huizinga, itulah ”kelembutan, kebaikan hati, dan moderasi”.Perangai tokoh humanisme abad ke-15 ini agaknya seperti sosok tubuhnya. Kita hanya bisa melihat wajahnya melalui kanvas Holbein di Museum Louvre: kurus, pucat, wajah filosof yang meditatif dan sedikit melankolis. Tetapi ia—yang merupakan pengarang terlaris di masanya ini (seorang penjual buku di Oxford pada 1520 mengatakan, sepertiga bukunya yang terjual adalah karya-karya Erasmus)—juga seorang yang suka dipuji. Dan di balik sikapnya yang santun, ada kapasitas untuk menulis satire yang sangat berat sebelah yang menyerang Paus Julius II. Dalam satire ini, Santo Petrus bertanya kepada Julius di gerbang akhirat: ”Apa ada cara mencopot seorang Paus yang jahat?” Jawab Julius: ”Absurd!”Pada akhirnya memang tak begitu jelas bagaimana ia harus diperlakukan. Ia meninggal di Basel, Swiss, pada 1536, tanpa disertai seorang pastor, tanpa sakramen Gereja. Tapi ia dapat kubur di katedral kota itu.Agaknya itu menggambarkan posisinya: seorang yang meragukan banyak hal dalam agama Kristen, tapi setia kepada Gereja. ”Aku menanggungkan Gereja,” katanya, ”sampai pada suatu hari aku akan menyaksikan Gereja yang jadi lebih baik.”Mungkin itulah sebabnya yang selalu dikagumi orang tentang pemikir ini adalah seruannya untuk menghadapi perbedaan pikiran dengan sikap toleran dan mengutamakan perdamaian. ”Tak ada damai, biarpun yang tak adil sekalipun, yang tak lebih baik ketimbang kebanyakan perang.”Dari sini agaknya orang berbicara tentang ”humanisme Kristen” bila berbicara tentang Erasmus—atau, dalam perumusan lain, ”rasionalisme religius”. Dalam jenis ”rasionalisme” ini, skeptisisme dan rasa ingin tahu, curiositas, diolah dengan baik, tapi pada akhirnya tetap dibatasi oleh apa yang ditentukan agama. Tak mengherankan bila Ralf Dahrendorf menyebut posisi Erasmus sebagai ”leise Passion der Vernunft”, gairah yang lembut untuk akal budi.Dalam hal itu, Erasmus memang tak bisa diharapkan akan mengatasi pikiran yang umum di zamannya—yang tak amat leluasa dan luas. Di abad ke-21 sekarang, rasa ingin tahu yang dikendalikan oleh iman bukanlah sikap ilmiah maupun filsafat. Itu hanya sikap yang membuat pemikiran buntu.Dalam kasus lain, Erasmus juga bisa tidak konsisten. Pernah untuk menghadapi kritik pedas Ulrich von Hutten—seorang tokoh Reformasi Jerman yang teguh tapi sengsara—Erasmus ikut bersama para tokoh Gereja di Basel untuk mengusir orang itu dari kota. Dalam kasus lain, Erasmus memang penganjur jalan damai menghadapi Turki, tapi ia tetap memandang ”Turki” sebagai yang tak setara dengan Eropa yang Kristen.Pendek kata, pada diri Erasmus ada nilai-nilai yang mengagumkan dari humanisme, tapi juga ada unsur yang menyebabkan humanisme itu dikecam. Humanisme ini sejak mula—dengan kegairahannya mempelajari khazanah yang tak hanya terbatas pada kitab agama, tapi juga karya-karya Yunani kuno yang ”kafir”—yakin bahwa kita, sebagai manusia, dapat menangkap dunia obyektif dengan menggunakan akal budi. Di dalamnya tersirat asumsi bahwa (tiap) manusia adalah identitas yang tetap, atau ”diri” dan ”subyek” yang utuh dan tak berubah. Subyek ini menentukan makna dan kebenaran. Pikiran manusia menangkap dunia sebagaimana adanya dan bahwa bahasa merupakan representasi dari realitas yang obyektif.Dalam perkembangannya kemudian, pandangan seperti ini terbentur kepada apa yang jadi tajam sejak abad ke-19 Eropa. Dan itu ketika manusia, sebagai subyek yang ulung, jadi penakluk ”yang-lain” di sekitarnya. Ternyata sang subyek tak seluruhnya bisa dikatakan utuh, tetap, dan rasional. Tak berarti manusia sia-sia.Erasmus sendiri menulis sebuah karya satire yang termasyhur, Encomium Moriae, yang dalam bahasa Inggris terkenal sebagai The Praise of Folly. Di dalamnya, folly atau laku yang gebleg, yang tak masuk akal, dipujikan. ”Tak ada masyarakat, tak ada kehidupan bersama, yang dapat jadi nyaman dan awet tanpa sikap gebleg.” Dengan sikap gebleg itulah manusia mencintai, bertindak berani, termasuk berani menikah, apalagi cuma sekali, dan dengan sikap yang tak masuk akal pula ia percaya kepada apa yang diajarkan agama.Mungkin manusia selalu harus mengakui ada yang lain yang menyertai satu sisi dari dirinya dan satu bagian dari dunianya. Yang lain dan yang tak cocok bahkan tak senonoh itu tak dapat dibungkam—atau manusia hilang dalam kepongahan dan ketidakadilan.
Goenawan Mohamadhttp://www.tempoint eraktif.com/ hg/caping/ /2009/10/ 26/mbm.20091026. CTP131796. id.html

Minggu, 25 Oktober 2009

Suatu Siang di Jakarta Utara...

Suatu siang pada hari libur saya berkesempatan untuk mengunjungi seorang rekan penggemar jam dan paneristi (walau beliau enggan disebut demikian) di daerah Jakarta Utara. Tujuan kedatangan kali ini selain menunjukkan hasil buruan, juga hendak mengenalkan kepada beliau 'dunia strap custom' untuk jam Panerai karena jam Panerai beliau yang ada beberapa belas itu semuanya masih menggunakan strap asli (OEM). Yang menjadi 'kelinci percobaan' untuk pemasangan strap custom ini adalah PAM 176 Titanium dan PAM 090 (power reserve), keduanya dari seri Luminor.


Ternyata hasl yang didapat sungguh menarik karena PAM 176 yang strap aslinya berwarna coklat tua, tampil menjadi lebih 'hidup' saat dipasangkan strap custom warna coklat susu yang sangat lembut ditangan dan dengan finishing vintage. Beliau kelihatan surprise dan suka dengan hasilnya.!
Siang itu saya juga berkesempatan untuk melihat hasil buruan beliau selama beberapa lama tidak bertemu. Ternyata cukup banyak juga jam-jam yang beliau akuisisi. Yang menarik adalah 4 buah Rolex keluaran terbaru dibawah ini. 2 buah Turn-O-Graph dengan dial putih dan biru serta 2 buah Datejust kombinasi steel dan rose gold (beliau adalah juga penggemar rose gold).
2 buah jak dibawah adalah koleksi kesayangan beliau yaitu Jaeger Le Coultre Master Control series. Yang kiri terbuat dari steel dan kanan 18K rose gold. Sungguh cantik desain kedua jam ini dan semuanya dalam kondisi masih seperti baru!



Sebelum pulang, tidak afdol kalau tidak melakukan table shoot dari sebagian kecil koleksi beliau. Dan seperti biasa, pada setiap kedatangan saya membawa pulang 'oleh-oleh' yang ternyata lebih banyak dari biasanya!.... :-)).

Senin, 19 Oktober 2009

Lunch GTG on Monday 19 Okt 2009

Sengaja, hari Senin 19 Oktober ini saya tidak makan siang keluar kantor seperti biasa karena 2 orang rekan di milis arloji antik akan datang. Sekitar jam 12.30 WIB kedua rekan sudah datang ke kantor saya dan masing-masing memakai jam yang sangat menarik. Pada gambar di bawah adalah jam yang menjadi topik pembicaraan hari ini yaitu Seiko 'DiscusBurger' dari Moving Design Collection, Citizen Chronomaster dan Panerai PAM 119 dial biru yang hari ini sedang saya pakai. Sedangkan 2 jam G shock itu adalah milik salah seorang rekan yang dipindahkan perawatannya kepada saya. :-)

SEIKO MOVING DESIGN COLLECTION
Memang sepintas jam ini seperti jam mainan yang dijual seharga puluhan ribu di kaki lima. Seiko ini adalah produk desain inovatif yang mengambil ide dari jam-jam meca-digital pada tahun 70-an. Tampilan menyerupai jam-jam digital yang menggunakan 3 disc yang berputar dan berpenggerak automatic movement Seiko Cal.6R15. Salah satu hal yang menarik adalah material casing jam yang terbuat dari polished steel PVD coating, karena tampilannya yang mengkilat sepintas menyerupai bahan keramik.
Jam yang di desain oleh Tomoko Tomita ini memiliki diameter 41mm dengan ketebalan 14,3 mm. Dimensi cukup besar dan membuat tampilan Discus yang serba hitam menjadi lebih attraktif. Menurut si empunya, jam ini memiliki tingkat akurasi yang sangat baik seperti yang Seiko janjikan pada brosur bahwa akurasi jam ini adalah +25 sampai -15 detik per bulan. Tali kulit dan deployant buckle semua berwarna hitam. Pada case back yang juga terbuat dari sapphire terdapat lubang untuk melihat sebagian movement 6R15.



CITIZEN CHRONOMASTER
Ini adalah salah satu jam paling akurat di dunia dengan tingkat akurasi 5 detik per tahun! tingkat akurasi sekecil ini adalah 15 kali lebih baik dari tingkat akurasi jam quartz pada umumnya. Ya, ini memang jam high end quartz dari Citizen yang menggunakan movement ultra akurat Cal.A660. Si empunya jam ini memang salah seorang penggemar jam-jam high end Jepang (selain beberapa jam-jam Swiss yang dimiliki) seperti Grand Seiko dan Chronomaster ini. Seperti layaknya jam-jam high end, finishing jam ini begitu detail dan rapi hingga ke hal-hal kecil seperti finishing dial yang dibuat berpola dan cutting indeks yang halus. Jam terbuat dari titanium yang difinishing seperti steel sehingga terlihat berkilat seperti steel namun sangat ringan. Karena kehalusan dan kualitas finishing yang baik, jam ini terlihat elegan dan mewah bila dikenakan.

G Shock 5600EG dan 56RTB
2 buah G shock ini adalah 'hibah dengan mahar' dari salah satu rekan yang hadir dalam Lunch GTG ini. Entah kenapa, saya mulai suka dengan G shock yang unik. Kedua jam ini saya pilih karena: untuk 56RTB warnanya hijau doff dengan strap dari kulit yang menyatu dengan casing jam. Dan 5600EG saya suka karena tipe ini adalah tipe klasik G shock. Sebelumnya saya sudah memiliki seri 5600 yang lain dengan penampilan detil yang berbeda. Dan hal terakhir yang saya suka adalah dialnya yang gelap (negative)!..

Minggu, 18 Oktober 2009

OMEGA Seamaster Cal.501

Omega ini adalah Omega paling sederhana, klasik dan cantik dalam koleksi saya. Apalagi dengan tidak adanya feature tanggal menyebabkan desain secara keseluruhan menjadi lebih bersih, dan kebetulan juga kondisi dari jam ini masih sangat bagus. Jarum menggunakan model jarum pedang dan jarum detk yang kalau diperhatikan ujung yang runcing akan terlihat melengkung mengikuti kontur dial (lihat gambar paling bawah dalam posting ini).

Omega cantik ini menggunakan automatic full rotor movement cal.501 yang diproduksi sekitar tahun 50-an. Gambar dibawah memperlihatkan koleksi cal.501 lain yang saya miliki sebelumnya yang memiliki tektur dial yang unik.


Logo seamonster pada caseback dibuat besar dan dengan kualitas grafir yang tegas dan tebal. Dari tulisan WATER PROOF yang masih jelas terlihat menunjukkan kalau jam ini belum sering dipoles. Diameter jam sekitar 35mm dengan crown hexagonal atau sering disebut sebagai 'kenop belimbing' karena bentuknya seperti buah belimbing yang dipotong melintang.

Sabtu, 17 Oktober 2009

1st GTG Penggemar Panerai di Indonesia!..

Akhirnya, GTG pertama untuk Penggemar Panerai di Indonesia terlaksana juga pada tanggal 17 Oktober 2009. Kali ini yang menjadi 'sponsor' acara GTG adalah Time Place Plaza Senayan sebagai agen pemegang merk Panerai di Indonesia. Hampir semua yang diundang pada acara ini hadir dan beberapa orang membawa koleksi Panerai dan straps yang luar biasa. Berikut adalah gambaran dari acara yang diadakan dari jam 13.00 sampai jam 15.00 itu.

THE GUESTS.

Hampir semua penggemar Panerai yang datang berusia muda sekitar 30-40 tahun dan tidak semuanya datang dari Jakarta. Pada gambar diatas adalah Heru (kiri) datang dari Cirebon, Peter Gani (The strap maker) datang khusus dari Surabaya dan Irwan (Jakarta).




THE STRAPS

Koleksi yang selalu menyertai seorang penggemar Panerai adalah koleksi strap (tali kulit). Karena memang setiap jam Panerai bisa tetap cocok dan seksi bila dipasangkan dengan jenis dan warna tstrap apapun. Begitu banyak strap yang bagus-bagus (dan juga mahal) yang bisa dilihat pada GTG ini. Bahkan ada strap yang dibuat dengan edisi sangat terbatas! Banyak pilihan strap yang dibawa oleh paneristi baik yang di supply oleh Panerai (OEM) maupun yang dibuat by order (custom made).






THE PANERAI

Berikut adalah koleksi Panerai yang dipakai dan dibawa oleh member yang hadir. Banyak tipe Panerai yang baru pertama kali saya lihat seperti Panerai 10 days, destro (left handed), Radiomir Ratraprante, dan The Fiddy (1950).






Acara ini dimeriahkan dengan pemberian beberapa buah door price seperti: kaos dan topi Paneristi, DVD Panerai movement, Straps, dan Buku Panerai. Dari pihak tuan rumah Time Place juga memberikan goody bag berisi majalah Time Place terbaru dan katalog Panerai. Semua yang hadir bersemangat dengan acara gathering penggemar Panerai di Indonesia ini dan tidak sabar untuk membuat acara-acara serupa di lain waktu.
Terima kasih kepada Time Place atas dukungannya terhadap acara ini! Bravo TP!

Selasa, 13 Oktober 2009

Tanggal 5 Oktober 2009, bertempat di gedung Gemente Apeldorn Belanda, atas kerja sama Yayasan Erfgoed dan SVL diadakan Seminar, pameran footo, peluncuran buku dan pemutaran film tentang peristiwa Perundingan Linggajati serta peringatan 100 th Sutan Sjahrir. Dalam kesempatan tersebut antara lain berpidato salah seorang pendiri SVL (Yayasan Persahabatan teman-teman Linggajati) Ibu Joty Terkulve. Beliau adalah kakak dari Dr Willem Os SpOG yang juga pendiri SVL. Bersama ini adalah pidatonya.
-----------------------------------------------------------------------

APELDOORN OCTOBER 5, 2009

Ladies and Gentlemen,

No country can escape its history; nor can it forget its past. But we can draw lessons from both.

The Linggajati agreement, which was signed in 1946 by Indonesia and the Netherlands, recognized Indonesia as an independent country. The agreement will pass into history as an example of Enlightened Governance and Mediation.

The agreement was reached by statesmen of both countries who were prepared to have a genuine meeting of minds, and who would negotiate with respect for each other. Some of the participants paid dearly in both their private and public lives.

The problems of international conferences today are not so much caused by reams of policy papers written to solve the problems; rather, most problems are in the attitudes of in the participants. As someone once remarked, there are more problems sitting around the table than are on the table. In that sense, Linggajati today is highly relevant.

Linggajati is a “bridge to the future.” This is possible only if the pillars supporting the bridge are solid, which they will be if we do not deny our colonial heritage.

After sixty years, both our countries demonstrate that the bridge will be strong. This became clear at the Seminar in Den Haag initiated by His Excellency Mr Habibi, Ambassdor of Indonesia in the Netherlands, attended and organized by, The Indonesian Ministry of Foreign Affairs ANRI, the Foundation Koninklijk Nederlands Archief, Vrienden van Linggajati and the Stichting Indisch Erfgoed Apeldoorn.

At the seminar, Mrs. Upik Syahrir, the daughter of the great statesman Sutan Syahrir, told the participants about the suffering her father and his family suffered at the hands of their Indonesian compatriots. She described how her father had been imprisoned for years—without due process—in Madioen. In my view, the fact that Indonesia sent Upik Syahrir to the conference in The Hague illustrates that Indonesia is a true democracy.

Mrs. Syahrir was considerate in not mentioning that in 1933, her father, who had returned from the Netherlands where he had been studying, was banned to the jungles of Papua New Guinea, again without due process.

She emphasized how her father could forgive those who had harmed him and that he always managed to keep faith in his country, Indonesia. He was a great man who remained faithful to his moral and social principles, just as did another great freedom fighter, Nelson Mandela.

But Sultan Syahrir was also a father who loved his wife and children. Upik told me that when she, her mother and brother made a long trip to visit her father in Madioen, they were accompanied by an aunt. As they returned to the prison exit her aunt realized that she had forgotten something. So she returned to the cell where she found Syahrir in tears, holding a picture of his children in his hands.

When Mrs. Syahrir mentioned this experience during her talk at the seminar in den Haag, there wasn’t a dry eye in the audience. She received a standing ovation. The Dutch, the Indonesians, the Indo’s all of us recognized ourselves in Mrs. Syahrir. She showed us another lesson—that healing from past wounds is possible when people and countries face their history and past mistakes, and, together, decide to build a new future.

Ladies and gentlemen, since 1945 many things have changed. White is no longer the only beautiful skin colour. Brown, Black, we all count; we all want to be recognized for who we are, and be treated with respect. Now we must put our combined efforts in finding ways to make a multicultural society work for everyone. The reality that inside our hearts we are all alike is increasingly accepted. We have entered a new century. Mankind is confronted with overwhelming challenges. We need each other in order to successfully meet these challenges.

The younger generation needs to know more about the colonial times, the mixed culture of the Dutch–Indonesian mix; the treaty of Linggajati and what that meant for both our peoples; the exodus of the former citizens of the Dutch East Indies; the life of the Indonesian Founding Fathers, and the great Dutch statesmen, Schermerhorn, van Mook Sanders who were present.

Through Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir and the Treaty of Linggajati, our youth in Holland will be better able to understand our common heritage, as well as our potential future. They will be able to better understand the modern multicultural Indonesia. Indonesia is an immense country, 17.000 islands, 300 languages and cultures, a proud democracy with a vibrant economy, It has a prominent position in Asean.

It is note worthy to mention their success in dealing with some large natural disasters .

Ladies and gentlemen Linggajati : the bridge to the future.

Joty ter Kulve–van Os

Dr. W.A.A. van Os

Foundation ‘’ Vrienden van Linggajati”

October 2009

Senin, 12 Oktober 2009

Omega Speedmaster Professional Pre-Moon and Moonwatch

Seringkali saya mendapatkan pertanyaan mengenai Omega Speedmaster NASA atau Moonwatch karena jam ini termasuk kolektibel dan salah satu icon desain Omega. Pertanyaannya adalah bagaimana membedakan Omega Speedmaster Professional (selanjutnya disebut sebagai Speedy) generasi sebelum nama Moonwacth populer dan Speedy Moonwatch itu sendiri. Posting kali ini saya coba gambarkan secara ringkas bagaimana ciri-ciri dari kedua jam Speedy dari 2 generasi yang berbeda. Perbandingan adalah antara Speedy Pre-Moon tahun 1969 dan generasi Speedy terakhir yang menggunakan movement cal.861 dari awal tahun 90-an.

Desain Dial
Hal pertama yang paling mudah dilihat dan dikenali adalah dari desain dial. Sepintas dial dengan finishing black matte ini serupa. Tapi kalau diperhatikan lebih seksama, desain dial Speedy Pre-Moon masih menggunakan model dial 'bertingkat' atau sering disebut sebagai dial 'pie pan' dimana bagian tengah dial dibuat lebih tinggi dari sisi luar dan menyerupai piring dibalik. Elemen desain lain pada dial antara Pre-Moon dan Moonwatch adalah identik. Counter sub register model tri-compax sama-sama dibuat 'tenggelam'. Bedanya sangat tipis, yaitu pada desain sub register Pre-Moon lubang sub registers penurunannya tidak siku tapi melandai, sedangkan pada Moonwatch dibuat siku 90 derajat. Karena desain unik Pre-Moon inilah maka para penggemar Speedy mengatakan kalau desain dial Pre-Moon lebih ber-'karakter'.

Caseback

Desain caseback Speedy Moonwatch selalu menuliskan "THE FIRST WATCH WORN ON THE MOON...", sebagai pegingat bahwa Omega berperan serta dalam misi pertama manusia ke bulan. Sedangkan pada Speedy Pre-Moon tidak ada tulisan apa-apa hanya logo dan tulisan SPEEDMASTER karena memang saat itu Omega belum secara resmi dipilih oleh NASA sebagai salah satu partner mereka. Untuk Speedy Moonwatch generasi baru bahkan membuat case back menjadi transparan.



Movement

Kedua jam dalam posting ini masih menggunakan kaliber movement yang sama yaitu Cal.861 yang merupakan pengembangan dari movement Lemania Cal.1873. Gambar movement 861 di bawah merupakan finishing dari Cal.861 pada era awal tahun 90-an. Omega mengganti finishing movement 861 mereka yang semula pink gold plated menjadi yellow gold plated pada tahun 1992, dan kemudian berganti lagi menjadi rhodium plated pada tahun 1996 seiring dengan diluncurkannya generasi movement Moonwatch yaitu Cal.1861.



Penulisan SPEEDMASTER
Ciri ini yang seringkali luput dari amatan karena memang objek-nya kecil dan sepintas memang tidak ada bedanya. Penulisan kata SPEEDMASTER pada kedua jam ini juga berbeda. Pada Speedy Pre-Moon penulisan SPEEDMASTER khususnya pada huruf S dan R terakhir lebih ramping dan tinggi daripada huruf serupa pada Moonwatch. (silahkan klik gambar dibawah untuk memperbesar).


Kaki (Lugs)
Kedua jam ini memiliki desain casing yang serupa dengan desain lugs seperti baja dipelintir. Ini salah satu ciri khas Speedy yang unik. Kedua Speedy beda generasi ini memiliki desain finishing casing, material hexalite crystal dan lugs yang sama.


Speedy moonwatch pada posting ini menggunakan model rantai baru. Ciri khususnya ada pada garis yang memisahkan antara balok-balok rantai yang berada di tengah. Kalau saya pribadi lebih menyukai desain rantai Speedy yang lama. Dengan diameter 42mm jam ini kelihatan mantap dan maskulin namun tidak menghilangkan kesan klasik walaupun dibuat pada tahun 90-an sekalipun.

Minggu, 11 Oktober 2009

GRAND SEIKO...I Just love them!

Salah satu target/ cita-cita/ obsesi saya sejak awal menggemari Seiko antik adalah memiliki salah satu produk Seiko terbaik yaitu Grand Seiko. Setiap kali mendatangi gerai Seiko di Plaza Senayan, saya selalu menuju arah paling belakang gerai untuk melihat dan menikmati jajaran produk Grand Seiko. suatu kali saya minta kepada petugas disana untuk mengeluarkan salah satu GS yang dipajang disana dan saya tanyakan berapa harganya...dengan enteng dia menjawab "yang ituuuu...54 juta mas!". Gubrak!

Sejak itu, obsesi untuk mendapatkan GS menjadi semakin besar. Karena tidak mampu beli tipe GS baru maka saya mencari hanya yang vintage. Perburuan membutuhkan waku lama, tapi hasilnya sepadan! I just love my GSs!...

Emblem emas pada case back Grand Seiko merupakan ciri khusus yang menunjukkan kualitas produk yang sangat baik. Menurut saya, GS menjadi terlihat semakin klasik bila menggunakan tali kulit..

Jumat, 09 Oktober 2009

Obyek Wisata Mercusuar

Tim Ekspedisi Sriwijaya Menemukan Bangkai Kapal di Perairan Pulau Nangka Kompas cetak, Jumat, 9 Oktober 2009. Mercusuar di perairan Bangka Belitung, seperti di Pulau Pelepas, Selat Bangka, merupakan tujuan wisata yang potensial. Tim ekspedisi Sriwijaya mengunjungi mercusuar di Pulau Pelepas yang disebut warga setempat sebagai Pulau Lampu, Kamis (8/10). Mercusuar tersebut dibangun pada zaman kolonial Belanda, tetapi belum diketahui tahun pembuatannya. Di atas pintu masuk ke mercusuar terdapat plakat besi yang menjelaskan mercusuar tersebut dipugar pada tahun 1893. Mercusuar itu memiliki tinggi sekitar 50 meter. Tim ekspedisi Sriwijaya mendatangi mercusuar dengan menumpang kapal nelayan dari Dermaga Tanjung Tedung, Kabupaten Bangka Tengah. Perjalanan dengan menggunakan kapal nelayan memakan waktu sekitar 30 menit. Pulau Pelepas hanya ditunggui empat petugas penjaga mercusuar karena pulau kecil tersebut tidak berpenghuni. Dari puncak mercusuar, pengunjung bisa melihat ke arah Selat Bangka dan memandang Pulau Bangka di kejauhan. Pengunjung juga dapat menikmati pemandangan indah berupa laut berwarna biru kehijauan dan deretan pulau-pulau berpasir putih. Menurut Soleh, petugas penjaga mercusuar, di perairan Bangka Belitung ada tiga mercu- suar yang semuanya dibangun pada zaman Belanda, yaitu di Pulau Lampu, Pulau Pelepas, dan Pulau Dapur. Ketiga mercusuar tersebut ada penjaganya. "Pulau ini hanya ramai saat Lebaran, banyak wisatawan lokal datang ke sini. Akan tetapi, setiap hari banyak nelayan yang beristirahat di sekitar pulau," kata Soleh. Soleh mengungkapkan, mercusuar di Pulau Pelepas sudah 2 tahun memakai tenaga surya untuk menghidupkan lampu suar. Sebelumnya, mercusuar tersebut menggunakan tenaga genset untuk menghidupkan lampu suar. "Jangkauan lampu suar mencapai 16 mil atau sekitar 30 kilometer. Dulu mercusuar sangat bermanfaat untuk membantu pelaut menentukan arah, tetapi sekarang dengan adanya GPS (global positioning system) dan radar, fungsi mercusuar semakin berkurang," kata Soleh.

Jalur perdagangan

Kepala Balai Arkeologi Palembang Nurhadi Rangkuti mengutarakan, banyaknya mercusuar yang dibangun Belanda di perairan Selat Bangka menunjukkan ramainya jalur pelayaran di perairan tersebut. Jalur itu sudah ratusan tahun merupakan jalur pelayaran yang ramai. Pada masa kolonial Belanda, mercusuar dijadikan pedoman para pelaut, sedangkan pada zaman Sriwijaya memakai tanda-tanda alam yang ada di Pulau Bangka, seperti Bukit Menumbing dan tanda-tanda alam, seperti hutan bakau di pantai timur Sumatera. "Belanda masuk ke Bangka Belitung karena timah. Timah memang komoditas yang penting pada abad ke-19 sehingga Belanda mendirikan banyak benteng di pesisir Bangka. Oleh karena transportasi perdagangan timah ramai, Belanda membangun mercusuar," kata Nurhadi. Mengenai potensi mercusuar di Bangka Belitung sebagai wisata arkeologi, Nurhadi menuturkan, wisata arkeologi tidak bisa berdiri sendiri.

Bangkai kapal

Tim ekspedisi Sriwijaya berhasil menemukan dan mendokumentasikan bangkai kapal yang tenggelam di perairan Pulau Nangka, Selat Bangka. Kapal yang tenggelam di kedalaman sekitar 17 meter tersebut bisa menjadi obyek wisata yang menarik di Selat Bangka. Kepala Seksi Kerja Sama Direktorat Peninggalan Bawah Air Dirjen Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Yudi Wahyudin mengungkapkan, kapal itu diduga tenggelam karena terkena torpedo. Namun, karena hambatan arus yang kuat dan rendahnya jarak pandang (visibilitas) di dalam laut yang hanya 1 meter, tim ekspedisi belum berhasil mengidentifikasi bangkai kapal tersebut secara lengkap. Menurut Yudi, koordinat bangkai kapal tersebut adalah 02 derajat 22’45.6" Lintang Selatan dan 105 derajat 43’31.5" Bujur Timur. Kapal memiliki panjang 70 meter. Kondisi bangkai kapal telah ditutupi karang dan menjadi rumah yang disukai ikan-ikan. "Kondisi bangkai kapal relatif utuh, tidak banyak bagian kapal yang hilang. Menurut para nelayan, jarang ada orang yang mengambil besi tua dari bangkai kapal tersebut. Para nelayan hanya mengambil ikan di sekitar lokasi," ujarnya. (WAD)


Kamis, 08 Oktober 2009

TAG HEUER Carrera Chronograph Chocolate

Saya akui kalau saya pribadi tidak begitu nge-fans dengan brand Tag Heuer dan saya hanya bisa suka dengan desain Tag Heuer yang klasik atau seri re-edition seperti Monaco, Carrera, Monza dll. Dan walaupun suka, saya belum pernah mencoba memilikinya sampai hari kemarin.
Sejak awal kali keluar, saya amati tipe Carrera ini termasuk desain Tag yang saya suka (yang pertama tentu saja Monaco Steve Mc Queen). Bagi saya desain Carrera ini klasik dan mendekati versi aslinya yang ber diameter lebih kecil. Kemudian saat Tag mengeluarkan versi yang berwarna coklat (versi aslinya dulu tidak ada), saya jadi makin mengagumi-nya. Paduan antara desain klasik chronograph dan warna coklat kok menurut saya bagus sekali. Omega akhirnya juga mengeluarkan seri speedmaster berwarna coklat.

Ok, sekarang kita lihat dialnya. Saya memilih Carrera dengan variasi dial lebih atraktif. Sub register atas dan bawah diberi 'sabuk' berwarna putih sedangkan sub register di sebelah kiri tidak. Menurut saya pembedaan ini membuat karakter jam ini agak sedikit keluar dari pakem klasiknya dan jadi terlihat lebih ke-kini-an dan modern. Pada sub register atas yang berfungsi sebagai 30 minutes counter ada warna orange pada hitungan sampai 10 menit. Kemudian lihat jarumnya. Jarum detik utama dibuat berwarna beda yaitu orange. Warna orange diatas warna dominan coklat tua...cool!

Carrera ini berdiameter 41mm dan tebal 16mm, yang menurut saya pas buat tangan kebanyakan orang Indonesia. Tidak besar, tapi juga tidak kecil untuk ukuran sebuah jam sport. Karena saya juga penggemar jam dengan menggunakan tali kulit. Maka saya coba padukan Carrera ini dengan strap generik motif crocodile. Ternyata kesannya jadi lebih manis, mungkin karena unsur warna coklat kulit membuat kesan total menjadi lebih soft tapi tetap maskulin dan sporty. Carrera juga mengeluarkan tipe yang menggunakan tali kulit coklat bercorak polos.

Karena tipe ini adalah versi replika (arti replika yang sesungguhnya: bukan palsu) dari versi aslinya, maka keseluruhan desain dibuat mendekati penampilan aslinya. Salah satu yang tidak banyak berubah adalah desain kenop chronograph. Desain yang sederhana dan fungsional (user friendly) menyerupai desain awal Carrera.

Movement menggunakan Valjoux 7750 yang memiliki 25 jewels dan power reserve 42 jam sudah dikenal handal dan akurat dan oleh Tag diberi nama sebagai Caliber 16. Pada case back dibuat transparan sehingga kita bisa melihat kinerja Caliber 16 ini.


Jam ini cukup nyaman dipakai dan karena finishingnya yang full polished steel sehingga akan terlihat berkilat yang dapat menambah kesan mewah untuk sebuah jam sport.