Jumat, 17 Maret 2006

DARI TRIKORA SAMPAI SUPERSEMAR



IRIAN, IRIAN, IRIAAAANNN…….
Itulah bait pertama lagu yang diajarkan kepada para pelajar pada awal tahun 60-an dalam rangka kampanye perebutan Irian Barat. Lagunya amat menarik sehingga sebagi pelajar kami terbawa pada retorika vokalnya. Gerakan Trikomando Rakyat (TRIKORA) untuk mengembalikan Irian Barat kepangkuan Ibu Pertiwi saat itu nampaknya sudah menjadi bagian hidup sehari-hari bangsa Indonesia. Disekolah, dikantor, ditempat-tempat umum topik pembicaran orang lebih sering kepada soal TRIKORA ini. Emosi masa Setiap saat selalu bangkit, muncul berupa ketidak senangan kepada bangsa Belanda. Apalagi semangat anti Belanda tidak pernah putus sejak pengambil alihan perusahaan milik Belanda pada tahun-tahun sebelumnya. Kegandrungan masyarakat ini tentu saja terutama karena dipicu pidato-pidato Presiden soekarno. Sejak tahun limapuluhan, Bung Karno memang tidak pernah melupakan untuk menyelipkan soal Irian Barat dalam pidatonya. Dengan perkataan lain telah terjadi etape politik memusuhi Belanda babak kedua setelah masa Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-1949. Itulah suasana gejolak politik 60-an yang terjadi. Dalam suasana ini, tanpa disadari masyarakat, dua kekuatan politik mulai berebut pengaruh dan bersaing habis-habisan, yaitu Angkatan Darat dan PKI. Persaingan ini baru berahir nanti saat meletusnya peristiwa G30S pada tahun 1965. Tapi dalam soal TRIKORA, keduanya melihat kalau kampanye perebutan Irian Barat akan menuai pembangunan kekuatan politik masing-masing secara nyata. Pada bulan Juli 1962 anggota BTI (organisasi tani dibawah PKI) berjumlah 5,7 juta orang, anggota SOBSI 3,3 juta orang, Gerwani 1,5 juta orang. Jumlah anggota PKI yang tercatat pada ahir tahun 1962 telah mencapai lebih dari 2 juta orang. Jumlah kaum intelek anggota PKI, LEKRA telah mencapai 100.000 orang pada medio tahun 1963. Semua ini telah menempatkan PKI sebagai partai komunia terbesar diluar negara komunis. Bagi T.N.I, kampanye untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda adalah kesempatan terbaik untuk membangun kekuatan militernya. Hal ini sejalan dengan usaha memancing simpati Rusia sebagi blok sovyet yang sedang perang dingin dengan blok Amerika. Bantuan hibah (grant) atau pinjaman ringan merupakan masa paling mewah bagi pembangunan kekuatan militer Indonesia. Ketika tidak satupun negara Asia Tenggara yang memiliki pesawat pembom jarak menengah, kita suda punya squadron Elyusin dengan semua perangkat penunjangnya. Kekuatan udara pesawat tempur AURI tiba-tiba melompat dari pesawat propeler tua kepada pancargas modern, seperti Mig 15, 17 dan terahir 21. Tidak lupa untuk pertama kali kita juga diperkenalkan dengan sistim radar canggih dan peluru kendali dari darat keudara. Demikian pula kekuatan laut kita saat itu tidak bisa dibilang kecil. Kita memiliki sejumlah kapal perang besar, kapal selam, kapal cepat torpedo, penyapu ranjau, amtrack, tank amfibi dan masih banyak lagi. Tapi semua itu yang paling mewah adalah angkatan darat. Sejumlah perwira tinggi yang diketuai Jenderal AH. Nasution, telah mendapat undangan untuk berkunjung ke Rusia untuk diperkenalkan pada kekuatan militer pakta warsawa. Angkatan darat dengan kekuatan infantrinya akan ditunjang oleh kekuatan arteleri dan kavaleri tingkat dunia. Senjata pasukan yang dimiliki mulai dari senjata ringan Kalasnikof (AK 47), Bren AK, pistol Tokaref, sampai peluncur granat yang belum pernah kita miliki sebelumnya. Demikian juga telah diadakan pelatihan militer bagi personil ketiga angkatan di negara-negara blok sovyet dan kunjungan konsultan militer Rusia juga bagi ketiga angkatan. Semua kenyataan ini rupanya sukar dipahami secara arief oleh para pejabat Pemerintahan. Seyogyanya persiapan perang ini juga diimbangi dengan penkondisian sosial, politik dan ekonomi secara baik pula. Namun hal itu tidak segampang membalik tangan. Kondisi ekonomi nasional sedang merosot. Indonesia justru sedang menghadapi hiper-inflasi yang permanen (sekitar 100 % pertahun) mulai tahun 1961 sampai tahun 1964. Padahal dilihat dari sudut pandang dunia luar dalam negeri kita sedang hanyut pada keadaan radikalisme politik. Bagi kepentingan Amerika, hal ini rupanya bukan main-main. Melihat pihak militer yang amat tergantung pada blok Sovyet, dan pembangunan politik dalam negeri yang dikuasai PKI. Maka tidak ada pilihan lain. Amerika menekan Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Sebagai negara kecil Belanda yang saat itu dipimpin Perdana menteri de Quai tidak punya pilihan lain. Pada bulan Februari 1962, Presiden Kennedy mengutus adiknya Jaksa Agung Robert Kennedy untuk bertindak sebagai penengah. Meskipun perundingan berjalan tidak terlalu mulus, pada tanggal 15 Agustus 1962, Belanda sepakat menyerahkan wilayah Irian Barat pada tanggal 1 Oktober 1962 kepada suatu pemerintahan sementara PBB yang selanjutnya akan menyerahkan kepada pihak Indonesia tanggal 1 Mei 1963. Dan seperti tertulis dalam sejarah, setelah melalui PEPERA, Irian Barat yang kini bernama PAPUA itu kembali kepangkuan Ibu Pertiwi. Tapi dibalik itu meskipun Soekarno telah mencapai cita-citanya, dalam negeri Indonesia bagai api dalam sekam. Pihak militer melihat PKI sebagai musuh, sebaliknya PKI melihat tentara sebagai seteru. Ketegangan berhasil diatasi Soekarno dengan membangun musuh imajiner baru yang namanya Neo Imperialisme, Neo Kolonialisme dan Neo Kapitalisme. Yang bentuk nyatanya digambarkan sedang bercokol tidak jauh dari Indonesia, yaitu apa yang disebutnya negara boneka Malaysia. Malaysia dan Singapura telah dimerdekakan Inggris sejak tahun 1957, tapi ada ganjalan Soekarno mengenai hal tersebut. Bukan saja karena merasa satu rumpun, tapi sesungguhnya cita-cita Indonesia Raya itu tak pernah padam. Pada suatu hari ketika kembali dari Dalat (tanggal 13 Agustus 1945), setelah menghadap Marsekal Terauchi, dikota Taiping (Malaya Utara), Soekarno dan Hatta bertemu dengan sejumlah pemuda perwakilan rakyat Malaya. Ketuanya bernama Ibrahim Yakub, dan atas nama rakyat Malaya, mereka menginginkan bergabung dengan Republik Indonesia saat Proklamasi 17 Agustus 1945. Soekarno menjanjikannya. Belakngan demikian juga rakyat Kalimantan Utara pernah menyampaikan petisi yang sama ingin bergabung dengan Indonesia. Bagi Indonesia juga tidak terlalu bersih karena keerap campur tangan dalam negari Indonesia. Misalnya berkaitan dengan gerakan PRRI-Permesta, Malasia merupakan tempat transit kaum pemberontak. Mungkin saja ada dalam pikiran Soekarno saat itu, kalau peralatan militer yang menggunung yang tidak sempat dipakai saat Irian Barat, bisa dipergunakan untuk konfrontasi dengan Malasia. Tapi mimpi itu rupanya sukar diwujudkan, karena didalam negeri keadaan politik sudah kadung bagaikan hamil tua. Persaingan politik dua kubu PKI dan Angkatan darat tidak bisa menanti untuk didamaikan lagi. Tidak tahu bagaimana kejadiannya secara pasti karena sampai sekarangpun orang masih banyak menyebutnya sebagai misteri. 7 orang jenderal Angkatan darat kedapatan diculik dan dibunuh. Seperti apa yang disampaikan oleh yang empunya cerita…..PKI lah yang dianggap biang keladinya. Maka sejak tanggal 12 Maret 1966, stelah menerima SP 11 Maret (SUOERSEMAR) dari Soekarno, Jenderal Soeharto Men.Pangad pengganti Jenderal Yani (salah satu korban G30S) mengadakan pembersihan nasional dari anasir PKI dan onderbownya…………..

Minggu, 12 Maret 2006

Parang riwayatmu dari dahulu sampai sekarang


Ada sebuah desa kecil dilereng gunung Lawu namanya Parang. Parang dapat dicapai melalui jalan dari Magetan kearah selatan. Daerah ini tidak memiliki lahan yang subur. Tanahnya kering karena bukit-bukit yang banyak disekitar itu kalau dipacul lebih dari satu meter adalah tanah kapur. Banyak yang bilang kalau Parang, singkatan dari Lempare arang-arang (daerah yang datar itu jarang). Dan memang dapat dihitung daerah datarnya sedikit. Singkat kata Parang adalah desa miskin, pertanian penduduk amat terbatas karena bergantung pada hujan. Lalu apa yang diusahakan penduduk ?. Sebagaimana daerah kresidenan Madiun lainnya, rakyat banyak yang jadi buruh pabrik gula. Tentu saja tidak mungkin jadi petani tebu, karena tanahnya tandus. Tapi bolehlah, sebagai buruh yang diangkut dengan lori atau truk setiap hari, mereka bekerja pada perkebunan milik pabrik disekitar Madiun. Dan itu sudah berlangsung ratusan tahun. Ya sejak zaman Cultuur Stelsel (tanam paksa), atau sejak Gubernur Jenderal van den Bosch berkuasa (1830-1833). Buruh adalah lahan subur buat Proletarianism. Ploretariat (wage workers collectively ; the working class ; a term used especially in Marxism) segera terbangun secara alamiah. Itu normative, karena diberbagai belahan dunia manapun juga, habitat politik bagi marxisme lebih dahulu harus terbentuk. Desa miskin, buruh tani, rasa sependeritaan dan tentu saja kader. Diseberangnya pasti ada kaum Bourgeoisie (middle class society) yaitu orang kaya, pemilik tanah, pemilik pabrik, penguasa hukum dsb. Di Indonesia Ini lebih lengkap karena adanya faktor kolonialisme. Dua pemain panggung politik ini nampaknya baru muncul pasca Tanam Paksa. Ketika terjadi perubahan dalam tubuh pemerintah Kolonial. Ketika usaha Pemerintah (van den Bosch itu konseptor proyek Pemerintah) sebagai pemilik dan penangung jawab proyek, Proletarianism belum terjadi. Tapi pada awal abad ke 20, ketika sektor swasta mulai menjadi penguasa di Belanda, maka investasi kaum berduit di Hindia merupakan penyebab munculnya struktur ekonomi modern. Revolusi Oktober 1917, tidak muncul lebih dahulu dari Revolusi Perancis, namun para ahli Revolusi belajar bahwa keduanya berhubungan erat. Demikian pula bursa politik di Indonesia juga mulai diramaikan teori dialektika. Seorang pentolan Komunis Belanda namanya Snevliet, tiba ditanah air pada awal tahun duapuluhan. Kadernya segera menyemut terutama dibilangan buruh kereta api dan trem. Pelan-pelan juga di kalangan pabrik gula. Tapi londo satu ini mana ngerti budaya Jowo. Maka bersahabatlah dia dengan Darsono dan Semaun, dua tokoh Sarekat Islam. PKI didirikan pada bulan Mei tahun 1920. PKI cepat berkembang bukan semata-mata karena sudah lengkap unsur-unsurnya saja, tapi karena adanya kader yang kuat.
Kembali kepada Parang, mungkin demikian juga adanya. Anggota PKI disini populasinya terhitung besar. Dan dalam dua peristiwa penting penumpasan PKI oleh pemerintah, tahun 1948 dan tahun 1965, Parang khususnya dan daerah sekitar Madium umumnya, korban harta dan jiwa rakyat tidak kecil. Korban ini sebagian besar adalah mereka yang tidak tahu apa-apa , kecuali tujuan hidup yaitu makan. Makan untuk hidup dan hidup untuk makan. Hewankah mereka ?. Bukan mereka juga manusia yang bisa punya akal dan pengetahuan serta perasaan dan idiologi tentunya. Bagaimana Parang setelah Orde Baru ?. Sungguh sangat berbeda. Bukan karena tidak ada orang miskin atau kaya. Mungkin saja kader PKI masih ada disitu. Tapi Parang sangat lain sekarang. Listrik sudah masuk desa, sudah ada TV, ada tilpun. Ada dokter, bidan perawat dan sebagainya. Jalan sudah diaspal baik, angkot pating sliweran, motor pit macam-macam, ada Honda, Suzuki, Yamaha. Gadis-gadisnya sudah wangi-wangi dan pandai berdandan model Chrisdayanti. Di desa juga ada yang menyewakan karaoke, TV Game, rental VCD dan mereka tidak aneh berbicara mode.........Jadi Kapitalisme adalah obat mujarab menangkal Komunisme. Buatlah mereka menikmati artinya hidup didunia.
Katika pada suatu hari, kira-kira jam 20.00 malam saya lewat dipusat desa, terdengar sayup-sayup alunan suara musik dari radio. Mamik Slamet melagukan Dangdut Jowo. Sumbernya dari stasiun siaran swasta niaga kota Magetan. Tiba-tiba lagu berhenti sebentar karena akan menyampaikan pesan sponsor...........
Foto: Tempat Wisata di Magetan, danau Sarangan yang indah. Di tempat ini pernah ada Akademi Angkatan Laut pada tahun 1946-1947....

Selasa, 07 Maret 2006

KIAI TAPA.



Sultan Zainul Arifin (1733-1748) adalah pewaris kerajaan Islam Banten. Istrinya Ratu Sarifa menghianatinya dan melaporkan bahwa sang sultan kurang waras jiwanya. Maka VOC sebagai penguasa dan pelindung politik serta militer Banten, langsung membuang sang sultan naas ini ke Ambon. Putra mahkota yang sebenarnya berhak menggantikan ayahnya juga dibuang ke Ceylon. Sarifa yang mengangkat dirinya sebagai wali, mengangkat putra mahkota baru yang juga adalah kemenakannya. Sudah bisa diperkirakan rakyat yang sudah muak kepada istana kesultanan ditambah arogannya pejabat VOC yang sebagian besar bule, ahirnya berontak pada bulan Oktober 1750. Para pemberontak menginginkan diangkatnya Ratu Bagus Buang sebagai penguasa baru. Pemberontakan ini dipimpin oleh seorang tokoh Alim Ulama bernama Kiai Tapa. Bersamaan dengan peristiwa ini, VOC dengan Gubernur Jenderal baru Jacob Mossel, sedang mengalami kemunduran dalam kemampuan militernya. Pada bulan November 1750, suatu pasukan gabungan kesultanan Banten dan VOC yang berjumlah 800 orang, dipukul mundur oleh kaum pemberontak yang jumlahnya jauh lebih besar (diperkirakan 7000 orang). Sejumlah 30 orang opsir dan prajurit bule terbunuh mati dalam pertempuran tersebut. Pasukan VOC masih bisa mempertahankan bentengnya, tapi sebagian besar wilayah Banten jatuh ketangan musuh. Pemberontakan lalu merembet sampai perbatasan Batavia yang membuat penduduk kota besar VOC ini ketar-ketir karena merasa takut akan datangnya pasukan Islam yang katanya akan melakukan pembunuhan besar-besaran warga Eropah. Rupanya pimpinan VOC di Batavia melihat bahwa kuatnya kaum pemberontak ini karena tidak adilnya pimpinan istana Banten. Jadi ini bukan soal konflik Belanda-kaum pemberontak, tapi mula-mula dipicu konflik internal antara Ratu Sarifa dan para pemuka masyarakat. Ahirnya tampa kehilangan akal, VOC menangkap Ratu Sarifa dan kemenakannya tersebut yang lalu dibuang kepulau Edam (jajaran pulau 1000). Ratu meninggal dipulau tersebut pada bulan Maret 1751. Oleh VOC kemudian diangkat Pangeran Arya Adil Santika, adik dari sultan Zinul Arifin. Pengankatan ini sifatnya sementara, sambil menunggu kembalinya putra mahkota dari Ceylon. Tapi pemberontakan tidak mereda juga. Maka dengan kemampuan maksimal, pada tahun 1751 dikirimlah sebanyak 1000 orang serdadu bule dan 350 serdadu pribumi (sebagian besar orang Madura) untuk menumpas habis pemberontakan. Serbuan ke Banten ini mengakibatkan pasukan pemberontak meninggalkan kota dan bergerilya diluar kota. Mereka melakukan pembakaran rumah-rumah dan perkebunan orang Eropah dan melakukan penyerangan pos-pos pasukan VOC. Namun seperti biasa, pertahanan kaum pemberontakpun bisa dipatahkan oleh VOC. Kubu pertahan utamanya bisa direbut pada bulan September 1751. Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang berhasil menyelamatkan diri. Setelah itu pemberontakan terjadi secara sporadis disekitar dataran tinggi Jawa Barat seperti disekitar Bandung dan Bogor. Usaha VOC untuk menumpas kaum pemberontak lama kelamaan berhasil juga. Banten tenang kembali. Putra Zainul Arifin bernama Zainul Asyikin kembali dari pengasingan, dia dinobatkan pada tahun 1753. Apa untungnya bagi VOC ?. Tentu saja perusahaan dagang tidak mau rugi. Kalau sebelum tahun 1753, Banten hanya bersifat daerah yang dilindungi, maka setelah ini Banten resmi menjadi wilayah jajahan VOC.
*Tulisan ini dibuat untuk menyambut berahirnya penjajahan Belanda pada tanggal 8-9 Maret 1942 (64 tahun yang lalu) dan dimulainya penjajahan Jepang. Indonesia Merdeka pada tanggal 17 Agutus 1945, setelah tiga setengah tahun berada dibawah Jepang.
Foto: Senjata Kujang yang khabarnya milik Kiai Tapa. (sumber; http://ighoest.multiply.com/photos/album/1/kujang_Pusaka_Jati_Diri_Sunda)

Sabtu, 04 Maret 2006

Sumpah pemuda dan jalan menuju Revolusi Kemerdekaan

Hendrikus Colijn mantan Menteri Urusan Daerah Jajahan, kemudian Perdana Menteri Belanda. Veteran perang Aceh dan bekas ajudan Gubernur Jenderal van Heutz. Sekitar tahun 1927 – 1928, pernah mengeluarkan pamflet yang menyebut Kesatuan Indonesia sebagai suatu konsep kosong. Katanya, masing-masing pulau dan daerah Indonesia ini adalah etnis yang terpisah-pisah sehingga masa depan jajahan ini tak mungkin tampa dibagi dalam wilayah-wilayah.[1]
Bukan suatu kebetulan, bahwa pernyataan Colijn tersebut memunculkan Kongres Pemuda yang kedua pada tgl 28 Oktober 1928 di Batavia, dimana diikrarkan Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa. Peristiwa ini kita kenang sebagai hari Sumpah Pemuda.
Sejak tahun 1915 telah berdiri sejumlah besar organisasi kepemudaan bersifat kedaerahan, seperti Tri Koro Darmo yang kemudian menjadi Jong Java (1915), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Islamieten bond (1924), Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Rukun dan Pemuda Kaum Betawi. Namun semua organisasi tersebut bersifat kedaerahan dan kelompok khusus. Yang mungkin sedikit berbeda adalah Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang berdiri setelah selesai Kongres Pemuda I pada tahun 1926. PPPI merupakan wadah pemuda nasionalis radikal non kedaerahan. Tokoh-tokohnya adalah Sigit[2], Soegondo Djojopoespito, Suwirjo, S. Reksodipoetro, Muhammad Yamin, A. K Gani, Tamzil, Soenarko, Soemanang, dan Amir Sjarifudin. Atas prakarsa PPPI kongres ke II diadakan.
Dalam penerbitan P.I (koran Pemoeda Indonesia) no 8 tahun 1928, terdapat artikel dengan judul “KERAPATAN PEMOEDA-PEMOEDA INDONESIA”. Disitu dijelaskan :
sebagaimana yang telah diwartakan dalam P.I no.6 dan 7, di Jacatra telah diadakan kerapatan besar Pemoeda-pemoeda Indonesia pada tanggal 27 dan 28 Oktober. Pimpinan kerapatan ialah terdiri dari wakil-wakil, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, Pemoeda Indonesia, Pemoeda Soematera, Jong Java, Jong Celebes, Jong Batak Pemoeda Kaum Betawi, Jong Islamieten Bond (JIB) dan Sekar Roekoen. Selanjutnya juga diberitakan bahwa kerapatan dikunjungi beratus-ratus orang, dimana bagi siapa yang menyaksikan sendiri akan berbesar hati karena pemoeda-pemoeda kita bukan baru mencita-citakan saja, tapi telah tegak berdiri dipusat persatuan dan kebangsaan . Dalam kesempatan inipun telah diperdengarkan untuk pertama kali kepada umum oleh Pemoeda W.R.Soepratman, lagu INDONESIA RAJA [3]
Dalam POETOESAN CONGRES PEMOEDA-PEMOEDI INDONESIA, tercatat bahwa Poetra dan Poetri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia. Poetra dan Poetri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Poetra dan Poetri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sebagai realisasi penyatuan ini, pada tanggal 31 Desember 1930 jam 12 malam, Jong Java, Perhimpunan Pemoeda Indonesia, Jong Celebes, Pemoeda Soematra (awalnya bernama Jong Sumatranen Bond) telah berfusi menjadi satu dan membentuk Perkoempoelan “INDONESIA MOEDA”.
Para anggota panitia Kongres Pemuda ke II[4] terdiri dari pemuda-pemudi Indonesia yang dikemudian hari amat berperan dalam gerakan pemuda yang memperjuangkan kebangsaan dan kemerdekaan. Diantaranya terdapat nama, Soegondo Djojopoespito dari PPPI (ketua), Djoko Marsaid dari Jong Java (wakil ketua), Muhammad Yamin dari Jong Sumatranen Bond (Sekretaris), Amir Sjarifudin dari Jong Sumatranen Bond (bendahara), Djohan Mu.Tjai dari Jong Islamieten Bond. Kontjosoengkoeno dari P.I, Senduk dari Jong Celebes, J.Lemeina dari Jong Ambon dan Rohyani dari Pemoeda Kaum Betawi. Panitia didukung tokoh-tokoh senior seperti Mr.Sartono, Mr.Muh Nazif, A.I.Z Mononutu, Mr.Soenario. Dalam kongres ikut berbicara tokoh-tokoh besar kebangsaan lainnya seperti S. Mangoensarkoro, Ki Hadjar Dewantoro dan Djokosarwono .
Hadir sebagai undangan sekitar 750 orang dimana terdapat nama-nama yang kemudian terkenal seperti Kartakusumah (PNI Bandung), Abdulrachman (B.O Jakarta), Karto Soewirjo (P.B Sarekat Islam), Muh. Roem, Soewirjo, Sumanang, Masdani, Anwari, Tamzil, AK Gani, Kasman Singodimedjo, Saerun (wartawan Keng Po), WR Supratman. Dari Volksraad yang hadir adalah Soerjono dan Soekawati dan dari pihak Pemerintah Hindia Belanda yang hadir adalah Dr.Pyper dan Van der Plas[5].
Jelas bahwa kongres pemuda ke II dimana diikrarkan Sumpah Pemuda bukan pekerjaan dalam sedikit waktu saja, dan terang juga bukan hasil usaha dari beberapa gelintir orang saja[6]. Hal ini merupakan perjuangan panjang sejak Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908. Bahkan ada sebuah peristiwa lainnya yaitu ketika tahun 1904 Dr A,Rivai lulus ujian dokter sebagai Nederland Arts di Utrecht Belanda, pupus sudahlah anggapan jelek bahwa bangsa Indonesia itu “Laksheid”. Kata ini amat sakit didengar karena berarti pemalas, tidak punya kemauan bekerja atau berbuat sesuatu.
Setelah Indonesia muda terbentuk, berarti pemuda Indonesia memiliki organisasi kepemudaan nasional yang solid, kuat dan bercita-cita menuju kemerdekaan yang lebih pasti. Anggota IM terdiri dari semua pemuda seperti anak-anak SLP, SLA, sekolah khusus, kejuruan sederajat dan mahasiswa. Sejak tahun 1931 kongres demi kongres diadakan sehingga lebih menampakkan eksistensinya. Nyatanya memang IM tidak berafiliasi dengan partai politik.
Sejarah kemudian membuktikan bahwa modal kejuangan diatas amat penting artinya pasca penjajahan Jepang (1942-1945), dimana api Revolusi Kemerdekaan mulai dinyalakan dengan kesadaran adanya kesatuan dan persatuan kebangsaan yang bermotifkan pantang untuk dijajah kembali oleh kekuatan asing apapun bentuknya. Proklamasi Kemerdekaan mengawali "Revolusi Pemoeda", dan berahir ketika penjajah terahir di Indonesia yaitu Imperium Belanda menyatakan pengakuannya pada Kemerdekaan Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949. Tidak sampai 1 tahun kemudian, RIS bubar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk kembali pada tanggal 17 Agustus 1950.
[1] H.Colijn. Koloniale vraagstukken van heden en morgen.Amsterdam : De Standard. 1928, hal 59-60. Pernyataan ini amat sakit buat hati para pemuda. Soekarno dan Sjahrir segera bereaksi. Dikatakannya : Usaha untuk kembali memisahkan orang Indonesia satu sama lain sebagai orang Jawa, orang Sunda, atau orang Sumatera adalah suatu rekayasa jahat, divide et impera, suatu muslihat yang khas Colijnialism
[2] Sigit ketua pertema dan Soegono ketua kedua.
[3] Koran P.I.no.8 tahun 1928.
[4] Kongres kedua diadakan pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928. Resminya ada 3 kali rapat. Yang pertama dan kedua pada tanggal 27 Oktober 1928, mengambil tempat di gedung Katholieke Jongelingen Bond dan gedung Oost Java Bioskop. Yang terahir pada tanggal 28 Oktober 1928, minggu malam senin bertempat di gedung Indonesisch Clubgebouw (IC), Kramat 106 Jakarta.
[5] Yayasan Gedung Bersejarah, 45 tahun Sumpah Pemuda, 1974, hal 59-60
[6] Hanifah Abu, renungan tentang sumpah pemuda.dalam Bunga rampai Soempah Pemoeda. Balai Pustaka.

Jumat, 03 Maret 2006

Sjahrir dan kabinetnya.

“Demokrasi dialam Revolusi”
Sebagaimana diketahui masa kerja kabinet Sjahrir berlangsung dalam 3 babak Pemerintahan yaitu Kabinet Sjahrir pertama (14 November 1945 – 12 Maret 1946), Kabinet Sjahrir kedua (13 Maret 1946 – 2 Oktober 1946) dan Kabinet Sjahrir ketiga (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947).
Periode 14 November 1945 – 27 Juni 1947 menjadi penting karena merupakan awal perjuangan Revolusi Kemerdekaan dimana unsur konflik militer yang memunculkan pertempuran merupakan bagian yang sukar dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Semestinya, Kabinet Sjahrir adalah kabinet perang. Namun Sutan Sjahrir tidak memfungsikan pemerintahannya sebagai kabinet yang kuat dan militeristik tapi justru memulai fondasi sistim pemerintahan yang demokratis. Tapi perhatiannya pada masalah militer tidak dikesampingkan begitu saja.
Sjahrir bercita-cita mewujudkan kemerdekaan R.I yang merupakan jembatan untuk mencapai tujuan sebuah Negara yang menjunjung kerakyatan, kemanusiaan, kebebasan dari kemelaratan, menghindari tekanan dan penghisapan, menegakkan keadilan, membebaskan bangsa dari genggaman feodalisme dan menuju pendewasaan bangsa.[1] Tujuan itu tidak disebut-sebut dalam program awal kabinet pertama RI (18 Agustus 1945 – 14 November 1945) yang dipimpin Soekarno yang berbentuk Kabinet Presidensiel.
Kesempatan untuk mewujudkan cita-cita itu datang dalam persidangan pertama Komite Nasional Indonesia Pusat di Jakarta tanggal 16 Oktober 1945. Ketika itu Sjahrir diminta duduk sebagai ketua Badan Pekerja K.N.I.P dimana sebagian besar anggotanya sedang mengusulkan perubahan fungsi K.N.I.P dari hanya sebagai badan pembantu Presiden, menjadi lembaga legislatif. Hal itu didukung Hatta yang menerbitkan Maklumat Wakil Presiden No.X tentang pemberian kekuasaan legislatif kepada K.N.I.P. Bersama Presiden K.N.I.P juga ditetapkan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.[2]
Setelah menjabat, di lembaga tersebut Sjahrir menyusun Haluan Negara yang menggambarkan kedudukan R.I sebagai perwujudan hak menentukan nasib sendiri suatu Negara demokratis.[3]
Untuk mewujudkan Republik Indonesia sebagai negara hasil perjuangan Bangsa Indonesia yang demokratis, atas pemikiran Sjahrir pada tanggal 1 November 1945 diterbitkan Manifesto Politik oleh Pemerintah. Haluan Politik Pemerintah tersebut ditandatangani Wakil Presiden Mohammad Hatta.[4]
Untuk mendukung kebijakan nasional baru, pada tanggal 3 November 1945 diterbitkan Maklumat Pemerintah lainnya yang isinya antara lain, berdasarkan usul badan pekerja K.N.I.P, bahwa Pemerintah memberi kesempatan pendirian partai-partai politik[5]
Kemudian, sebagai ketua B.P K.N.I.P, Sjahrir mengajukan maklumat K.N.I.P no.5 tanggal 11 November 1945 yang isinya pembentukan kabinet dengan susunan menteri yang bekerja kolektif yang dipimpin Perdana Menteri. Perdana Menteri ditunjuk oleh Kepala Negara. Format itu terpaksa disetujui Presiden Soekarno.[6] Proses selanjutnya, pada tanggal 14 November 1945 terbentuk Kabinet R.I kedua yang berbetuk kabinet ministerial dengan Sjahrir sebagai Perdana Menteri. Keterangan Pemerintah tanggal tersebut tentang peristiwa ini adalah :
Oleh karena kabinet pertama RI dibentuk untuk sementara waktu tatkala saat yang genting dalam sejarah negara, maka sudah semestinya bagian dari Pemerintah tadi menunjukkan tanda-tanda tergesa-gesa. Pembaharuan dari kabinet memang telah lama dirasakan perlunya akan tetapi berhubung dengan beberapa keadaan maka terpaksa ditunda sampai kesempatan yang baik…..[7]
Pada tanggal 17 November 1945 diumumkan program Kabinet Sjahrir pertama ,
1. Menyempurnakan susunan pemerintahan daerah berdasarkan kedaulatan rakyat.
2. Mencapai koordinasi segala tenaga rakyat didalam usaha menegakkan Negara R.I serta pembagunan masyarakat yang berdasarkan keadilan dan perikemanusiaan.
3. Berusaha untuk memperbaiki kemakmuran rakyat diantaranya dengan jalan pembagian makanan.
4. Berusaha mempercepat keberesan tentang hal Oeang Republik Indonesia (ORI).[8]
Dalam Kabinet R.I kedua atau Kabinet Sjahrir pertama, wakil ketua B.P K.N.I.P, Amir Sjarifudin telah diangkat sebagai Menteri Keamanan Rakyat merangkap Menteri Penerangan.[9] Tidak jelas hubungan pribadi antara Amir dan Sjahrir sebelum kemerdekaan. Mereka sudah pernah bertemu beberapa kali sebelum dan sesudah zaman Jepang. Bahkan pembinaan pemuda sebelum perang yang dilakukan Amir, diambil alih Sjahrir dizaman Jepang. Kesan Sjahrir saat bertemu Amir pertama kali adalah orang yang penuh idealis yang berjiwa labil.[10] Setelah Proklamasi, keduanya kemudian sama-sama membentuk Partai Sosialis.
Alasan penunjukannya Amir sebagai Menteri Keamanan Rakyat selama 3 periode juga tidak jelas.[11] Sama tidak jelasnya apakah Sjahrir juga ikut menangani langsung hal-hal yang berkaitan dengan pertahanan, keamanan dan kemiliteran dalam kabinetnya tersebut ?
Sejak tanggal 5 Oktober 1945 telah dibentuk badan kemiliteran nasional yaitu Tentara Kemanan Rakyat (T.K.R) dimana Oerip Soemohardjo diangkat sebagai Kepala Staf. Sedangkan Panglima T.K.R pertama yaitu Soedirman, baru terpilih pada tanggal 12 November 1945 secara aklamasi dalam konperensi T.K.R di Yogyakarta.
Pada tanggal 18 Desember 1945 oleh Pemerintah Kabinet Sjahrir, Soedirman resmi dilantik sebagai Panglima Besar T.K.R. Penundaan pelantikan ini menurut Anderson menandakan adanya persaingan dan pertentangan antara Pemerintah dan Komando Tertinggi Militer.[12]
Pada tgl 17 November 1945 Kabinet Sjahrir mengeluarkan Keterangan Pemerintah tentang dasar Tentara Keamanan Rakyat (T.K.R). Melihat gaya tulisannya jelas konseptornya adalah para pemuka pemerintahan beraliran sosialis. Kemungkinan besar Amir Sjarifudin sendiri yang membuatnya. Misalnya pada bagian alinea terahir, tertulis :
Kalau kita melawat keluar negeri, bisa melihat bahwa perbedaan antara pemuda Nazi dan pemuda Tentara merah Rusia. Hampir seperti perbandingan tentara Hindia Belanda dan TKR. Dalam dada pemuda-pemuda tentara merah itu kita dapat keyakinan yang kuat. Semangat perjuangan yang berhasil mengembalikan tentara Jerman sampai ke Berlin, meskipun pada permulaan perang tentara Hitler sudah masuk Moskow……..Kita yakin bahwa pemuda-pemuda yang masuk TKR pada waktu ini semangatnya mirip semangat pemuda Rusia yang masuk Tentara merah. Dengan ini kemenangan ada difihak yang membela kebenaran dan keadilan, menolak serangan dan penjajahan. Mengembalikan kemanan negara republik Indonesia.[13]
Berbeda dengan Amir Sjarifudin dan Sjahrir yang berpendidikan barat, Soedirman adalah seorang pemuda berpendidikan sekolah menengah Wiworo Tomo dengan budaya Jawa yang kuat dan dilengkapi rasa keimanan Islam yang baik. Pengalaman militernya justru ditempa dalam pendidikan militer Jepang dalam sekolah Perwira tentara Pembela Tanah Air di Bogor. Karir militernya diawali sebagai Daidanco (Komandan Batalyon) di Kroya. Ketika pecah perang kemerdekaan, dia berhasil menghimpun kekuatan tentara antara lain karena mampu mengambilalih kekuatan senjata ex-Jepang di wilayahnya. Seperti disebut diatas, tanggal 12 November 1945 dalam konperensi tentara di Yogya Soedirman didukung sebagai panglima T.K.R. Kalangan anggota militer yang hadir sebahagian besar berasal dari para perwira lulusan sekolah PETA. Dia dipilih sebagai Panglima T.K.R. bukan semata karena pengakuan kepemimpinan militernya saja tapi juga karena mutu pribadinya yang luar biasa. Dirinya merupakan figur seseorang yang mampu menggabungkan keperihatinan yang tenang, kesalehan yang tulus, serta mawas diri. Kelemahlembutannya membuat dirinya berhasil mendapat simpati setiap orang yang ditemuinya. Namun dibalik sikap yang sederhana itu tersembunyi kemauan yang keras dan tekad membara untuk mencapai cita-citanya.
Tokoh Komunis beraliran Leninis Trotskyis, yaitu Tan Malaka sejak zaman Jepang sudah berada di Indonesia.[14] Sebelum itu dia merupakan tokoh komunis Indonesia di luar negeri guna menyambung kepemimpinan P.K.I 1926 yang dibubarkan pihak Kolonial. Meski dibuang keluar negeri, ajaran Tan Malaka berjalan terus ditanah air. Bahkan berbagai buku tulisannya mengalir ke Hindia dan dipelajari oleh banyak kadernya.
Setelah kemerdekaan Tan Malaka berkelompok dengan sejumlah politisi nasional yang sepaham seperti Akhmad Subardjo, Iwa Kusuma Sumantri, Adam Malik, Mohammad Yamin, Sukarni dan Chaerul Saleh. Pada tahun 1947 mereka membentuk partai Murba.
Dalam aksi politiknya Tan Malaka selalu beroposisi dengan Pemerintah. Dia mendirikan Persatuan Perjuangan (P.P) yang melawan kebijakan Pemerintah Sjahrir. Dalam P.P, ada unsur tentara yang terlibat, termasuk Soedirman. Drama politik P.P akhirnya tamat berkaitan dengan penculikan Sjahrir tanggal 28 Juni 1946 dan peristiwa 3 Juli 1946 dimana pihak Pemerintah menuduh semuanya didalangi Tan. Sejumlah tokoh ditangkap dan P.P bubar.
Kebijakan politik Kabinet Sjahrir memunculkan politik luar negeri yang dikenal sebagai Politik Diplomasi.[15] Dengan Inggris dan Belanda, politik tersebut menghasilkan perjanjian Linggarjati.[16] Dua tokoh perundingan yaitu Sjahrir dan Schermerhorn berperan sangat istimewa untuk mewakili negaranya masing-masing guna mencapai perdamaian dan penyelesaian dekolonisasi Indonesia.
Dalam perundingan dengan Belanda yang ditengahi Inggris, Sjahrir memang bertemu patner seideologi yaitu Schermerhorn yang jabatannya sebagai ketua delegasi Belanda dan anggota Komisi Jenderal. Mereka bekerjasama, namun kerjasama ini ada batasnya, karena kepentingan politik negara masing-masing yang berbeda. Acungan jempol perlu disampaikan bagi Komisi Jenderal terutama kepada Schermerhorn, karena bersedia berkorban perasaan dan bersedia dicaci maki bangsanya sendiri serta berani menanggung resiko memiliki reputasi jelek dalam sejarah Belanda. Sjahrir meskipun mendapat perlawanan kaum oposisi, nasibnya lebih baik.
Bagi golongan oposisi, Linggarjati dianggap sebagai kesalahan besar karena memberi konsesi kepada Belanda. Selanjutnya karena berbagai usaha politik oposisi dalam negeri untuk menggagalkan Linggarjati tidak berhasil diselesaikan dalam K.N.I.P. Maka untuk meratifikasi persetujuan Linggajati dalam sidang K.N.I.P tanggal 25 Februari 1947, Presiden menambah anggota K.N.I.P menjadi 500 orang. Partai Sosialis dan partai lain pendukung Pemerintah yang dikenal sebagai Sayap Kiri memenangkan persaingan politik dalam negeri tersebut sehingga persetujuan Linggarjati bisa ditandatangani tanggal 25 Maret 1947 di Jakarta.
Sjahrir dalam kedudukannya sebagai Perdana Menteri, telah mengeluarkan beberapa kebijakan politik militer, seperti penarikan semua kekuatan bersenjata R.I keluar dari kota Jakarta pada pertengahan Desember 1945, pengangkutan tentara Jepang dan APWI (Allied Prisoner of War and Internees), bantuan makanan bagi anggota APWI yang terisoler di Bandung yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh T.K.R, pemulangan tentara Inggris warga India yang menyebrang kepihak Indonesia kepada induk pasukannya, keputusan untuk mengosongkan Bandung dari pasukan T.K.R (terkenal sebagai peristiwa Bandung Lautan Api), penanganan diplomatis akibat Peristiwa Lengkong yang terjadi pada tanggal 25 Januari 1946 .
Dalam membina hubungan baik dengan Pihak Sekutu, khususnya untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan masalah keamanan, Sjahrir dan Amir Sjarifudin selalu melakukan kontak pribadi dengan para perwira tinggi Inggris seperti Jenderal Christison dan Laksamana Patterson. Bahkan pernah pula langsung dengan Laksamana Mountbatten sendiri.
Untuk melaksanakan politik militernya Sjahrir tidak membutuhkan bantuan organisasi militer yang besar. Telah ditetapkan Kantor Penghubung Tentara di jalan Cilacap no.5 Jakarta, sebagai unsur pembantu pekerjaan sehari-hari Perdana Menteri dibidang militer. Secara organisatoris kantor ini berada dibawah Markas Besar Tentara dan bertanggung jawab kepada Kepala Staf Tentara, Jenderal Mayor Oerip Soemohardjo.
Pada Kantor Penghubung Tentara Jakarta dan pada berbagai kesatuan militer khususnya di Jawa Barat tersebar para pemuda binaan Sjahrir yang sejalan dengan pikiran dan gagasannya sehingga kebijaksanaan politik militer Pemerintah dapat dikembangkan dalam strategi dan taktik sesuai dengan kebutuhan Pemerintah.
Dalam kabinet Sjahrir I, (14 November 1945 – 12 Maret 1946) telah dimunculkan sejumlah kebijaksanaan Pemerintah. Tapi belum semua kebijakan Pemerintah yang tercantum tertulis. Hal-hal lain yang belum dimunculkan dapat ditelusuri dalam Manifesto Politik Hatta dan juga buku Perjuangan Kita . Salah satu yang nampak perihal kebijakan politik, dimana kebijakan politik militer merupakan bagian dari kebijakan politik umum pemerintah R I .
Kebijaksanaan politik adalah alat yang terutama berkaitan untuk mempertahankan eksistensi pemerintah dan kemerdekaan R.I sebagaimana yang dinyatakan dalam proklamasi 17 Agustus 1945. Artinya kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia, mengindari kembali berkuasanya penjajahan Belanda dan memunculkan simpati luar negeri atas perjuangan rakyat. Untuk kegiatan didalam negeri yang paling penting adalah bagaimana persatuan bisa terwujud , demokrasi bisa berjalan dan feodalisme bisa ditumbangkan.
Dalam kabinet Sjahrir ke kedua (13 Maret 1946 – 2 Oktober 1946), kebijaksanaan pemerintah sedikit melenceng akibat ulah PP yang ingin memperjuangkan kemerdekaan 100 %. Hal ini sulit dilaksanakan karena perundingan dengan Belanda sudah setengah jalan yang didasarkan kepada kesepakatan bersama. Sedangkan minimal program PP tidak mungkin diterima Belanda, meskipun Soekarno punya perhatian pada kegiatan PP secara menyeluruh.
Kelompok oposisi (P.P) berada dibalik penculikan Sjahrir 27 Juni 1946 dan usaha kup 3 Juli 1946. Karena mereka menganggap Sjahrir tidak mewakili rakyat Indonesia yang sedang berevolusi. Pemerintah menumpas P.P dan tokoh-tokohnya dipenjarakan. Keadaan ini sangat membantu dalam mewujudkan situasi sosial politik dan keamanan dalam negeri yang kondusif guna berlangsungnya perundingan Linggarjati. Ketika Sjahrir diculik, Pemerintah yang berkuasa adalah kabinet presidensiel karena Soekarno menerbitkan maklumat pemerintah no.1 tahun 1946 yang isinya mengambil alih kekuasaan Pemerintah. Ketika maklumat ini dicabut melalui maklumat Pemerintah no.2 tahun 1946, dibentuklah kabinet Sjahrir ke III (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947). Dwitunggal Soekarno-Hatta mendukung kebijakan kabinet Sjahrir III, khususnya untuk berunding dengan Belanda. Antara lain menguasai sidang KNIP tanggal 25 Februari 1947 guna meratifikasi persetujuan Linggarjati, melalui penambahan anggota sehingga berjumlah 500 orang lebih. Ahirnya meskipun melalui jalan yang alot dan berbelit-belit akibat ulah Parlemen Belanda, Persetujuan Linggarjati ditanda tangani juga pada tanggal 25 Maret 1947.
Masalah yang kemudian muncul adalah justru kegagalan dalam mengimplementasi perjanjian Linggarjati itu. Visi dan Misi Belanda tidak cocok dengan pihak Indonesia. Lebih parah lagi adalah perpecahan dalam kubu partai Sosialis. Artinya dukungan sayap kiri pada kabinet Sjahrir dan kebijakan Pemerintah, berhenti. Kabinet Sjahrir ke III bubar. Sejarah kemudian membuktikan bahwa kabinet Amir Sjarifudin I, mulai berkuasa.
Dibidang militer, Sjahrir tidak berhadapan langsung dengan masalah pokoknya. Disana ada Amir Sjarifudin yang sejak memangku Menteri Pertahanan berusaha menata bidang militer menurut selera dan pandangan hidupnya. Padahal jangkauannya amat terbatas pada lingkungan militer karena sebagian lapangan militer menjadi tanggung jawab Soedirman sebagai Panglima Besar. Hal ini menimbulkan koflik laten di Yogya.
Sebagai Perdana Menteri Sjahrir tidak bisa membiarkan Amir berkonflik terus menerus dengan lembaga ketentaraan yang ada. Disadarinya disana ada Soedirman yang didukung oleh Soekarno dan Hatta. Maka didekatinya Soedirman dimana kebetulan sejumlah pembantu Soedirman adalah orang-orang yang dekat dengan Sjahrir. Hubungan harmonis Sjahrir-Soedirman berhasil dibina, khususnya dalam rangka melicinkan perundingan Indonesia Belanda. Dalam gencatan senjata 14 Oktober 1946, Soedirman adalah sosok yang berada didepan mendukung perundingan Indonesia-Belanda tersebut.
Sejak kepindahan Soekarno-Hatta ke Yogyakarta, terjadi kevakuman kepemimpinan politik Nasional di Jakarta dan sekitarnya atau lebih luas di Jawa Barat. Kesempatan ini dimanfaatkan Sjahir dengan sebaik-baiknya. Dengan alasan untuk membuat Jakarta sebagai kota Internasional agar cukup kondusif bagi persiapan perundingan Indonesia Belanda yang ditengahi sekutu, kekuatan militer Indonesia diminta keluar dari Jakarta. Sementara agar sikap tentara benar dan korek, selalu dipompakan pendapat dan keyakin Sjahrir kepada lembaba-lembaga militer. Tentu saja hal ini dilaksanakan melalui para pimpinan militer intelektual yang merupakan pemuda Sjahrir. Hal yang dimaksud Sjahrir sebenarnya cukup jelas tersurat dalam Perjuangan Kita. Sjahrir membutuhkan tentara yang bersatu, solid, efisien dan kuat. Maka personil tentara merupakan unsur S.D.M yang berkualits, professional, berdedikasi, serta berdisiplin tinggi. Seperti telah diuraikan diatas, untuk membantu kantor Perdana Menteri dibidang militer telah dibentuk Kantor Penghubung Tentara di jalan Cilacap no.5 Jakarta dimana berkiprah didalamnya sejumlah pemuda Sjahrir. Kantor Penghubung Tentara berperan sebagai tangan kanan Perdana Menteri dalam mewujudkan kebijakan Pemerintah serta pelaksanaannya dibidang militer.
Sebagai kepala pemerintahan Sjahrir gagal, tapi bukan berarti usahanya tidak ada gunanya sama sekali bagi negara dan bangsa Indonesia. Manfaat dari perjuangan Sjahrir, nampak dalam kebijaksanaan Pemerintah R.I. dibidang politik luar negeri. Sjahrir telah membangun landasan kuat atau tempat berpijak bagi sikap dan langkah yang diambil Departemen Luar Negeri R.I terhadap kolonialisme sejak tahun 1945 sampai sekarang.
[1] Subadio Sastrosatomo “Pengantar”, Mengenang Sjahrir 1980, hal. xxix.
[2] Osman Raliby, Documenta historica , 1953, hal.511
[3] Subadio Sastrosatomo, “Pengantar”, Mengenang Sjahrir 1980, hal xxxi
[4] Ibid, hal 525.
[5] Ibid, hal 529
[6] Ben Anderson, Revolusi Pemoeda, 1988, 207. Sebenarnya apa yang menggerogoti semangat juang kabinet pertama dan melumpuhkan tenaganya adalah kenyataan yang semangkin jelas mereka tidak diterima dunia luar maupun kekuatan revolusioner yang diwakili pemuda.
[7] Osman Raliby, Documenta historica, 1953, hal 95
[8] Ibid, hal 104
[9] Sedangkan dalam kabinet pertama Amir hanya menjabat Menteri Penerangan.
[10] Sutan Sjahrir, Renungan dan Peruangan, 1990, hal 252. Sjahrir berkata :”Aku dengar dia seorang yang pandai dan penuh idealis. Tapi sepanjang pengetahuanku tentang masa silamnya dalam politik, aku mendapat kesan bahwa kestabilan bukan sifatnya yang terkemuka.
[11] Dalam kabinet Sjahrir ke II, nama menteri kemamanan sudah menggunakan menteri pertahanan
[12] Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda 1988, hal.277
[13] Osman Raliby, Documenta Historica , 1953, hal 540
[14] Dia berada di Bayah Banten selama zaman Jepang dengan menyamar sebagai Romusha.
[15] Istilah dahulu “Politik Perdamaian”.
[16] Karena sampai saat ini daerah dimana berlangsung perundingan tersebut tahun 1947 menggunakan namaLinggarjati, maka selanjutnya dipakai kata ini bukan Linggadjati atau Linggardjati.

Rabu, 01 Maret 2006

Karbol

"Karbol" adalah nama panggilan populer yang melekat pada Laksamana Madya Udara Profesor dokter Abdurahman Saleh (almarhum). Profesi utamanya adalah dosen pada Geneeskundige Hogeschool dizaman Belanda dan Ika Daigakhu dizaman Jepang (sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). Beliau mengajar dibidang ilmu faal (fisiologi). Disamping itu sebagai hobi, sejak mahasiswa beliau menekuni radiotelegrafi. Itulah sebabnya ketika bertemu Jusuf Ronodipura pada tanggal 18 Agustus 1945 yang menceritakan bahwa Hosokyoku (pusat siaran radio pendudukan di Merdeka Barat) ditutup, beliau bertekad membuat radio siaran nasional. Pemancar berkekuatan 100 watt segera dibuat dan dari ruangan laboratorium ilmu faal, sejak tanggal 22 Agustus 1945, berkumandanglah “The voice of Free Indonesia”. Stasiun radio Indonesia Merdeka ini sempat menyiarkan pidato Presiden Soekarno tanggal 25 Agustus 1945 dan pidato wakil Presiden M.Hatta pada tanggal 29 Agustus 1945.
Peran sebagai orang radio ini, membawa Abdurachman Saleh sebagai ketua organisasi Radio Republik Indonesia. Ketika stasiun sudah pindah ke Merdeka Barat kembali, organisasi sudah meliputi 10 stasiun yaitu Jakarta (pusat), Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Purwokerto, Surabaya, Madiun, Kediri, dan Magelang. Dalam pertemuan 10 September 1945, di kediaman Adang Kadarusman di Menteng Jakarta, dimana rapat dipimpin oleh Abdulrachman Saleh, telah diambil beberapa keputusan yang mendasar antara lain, 11 September 1945 ditetapkan sebagai Hari berdirinya Radio Republik Indonesia. Tri Prasetya RRI, yaitu sumpah Pegawai RRI kepada Republik Indonesi dan menjaga RRI sebagai alat perjuangan bangsa. Kemudian organisi semua radio tunduk kepada komando pusat (diketuai Dr. Abdul Rachman Saleh).
Beliau juga dikenal sebagai atlit nasional dibidang atletik dan olahraga terbang. Tidaklah heran kiranya, ketika menjelang Perang Dunia Ke-II, beliau dengan mudah dapat meraih brevet penerbang. Memang saat itu para pemuda Indonesia mendapat kesempatan dididik dan dilatih menjadi penerbang militer. Antara lain terdapat nama, Sambudjo Urip, Adisucipto, Hussein Sastranegara, Iswahyudi, Poernomo termasuk Abdurahman Saleh sendiri. Ketika AURI terbentuk beliau segera menerjunkan diri sebagai penerbang. Jabatan yang diemban Abdulrachman pada masa-masa terakhir hidupnya sebagai instruktur Sekolah Penerbang di Lanud Maguwo Yogyakarta. Pada tahun 1946 ia menjabat Komandan Lanud Bugis di Malang [1]. Ia pun merangkap Komandan Lanud Maospati di Madiun [2].
Hari naas datang ketika pada tanggal 29 Juli 1947 bersama sejumlah awak pesawat "Pak Karbol" meninggal dalam kecelakaan pesawat sipil yang membawa obat-obatan dari Singapura. Pesawat C47 Dakota ini bernomer kode VT-CLA, ditembak oleh pesawat P-40 Kittyhawk milik Belanda, dan jatuh di Desa Ngoto yang masuk wilayah Kabupaten Bantul, jaraknya hanya sekitar tiga kilometer dari pusat Kota Yogyakarta. Beliau gugur bersama tokoh pahlawan nasional lainnya, yaitu Marsekal Muda Anumerta Agustinus Adisutjipto dan beberapa awak lainnya. Di antaranya, juru radio Opsir Muda Udara I Adisumarmo Wirjokusumo, Bhida Ram yang berkebangsaan India sebagai juru teknik, pilot berkebangsaan Australia Wing Commander Alexander Noel Constantine, Ny Constantine, bekas Squadron Leader Roy Haselhurst, dan Zaenal Abidin Arifin. Satu-satunya penumpang yang selamat adalah Abdul Gani Handonotjokro.
Mayor udara Saleh Basarah pada tahun 1963, sebagai Perwira Udara Wing Dik 001 dan Skadron D merangkap sebagai anggota pelaksana proyek Akademi Angkatan Udara setempat, menerapkan panggilan Karbol kepada para taruna. Tanpa surat keputusan apapun tapi cukup diumumkan oleh Senat Taruna dalam kesempatan upacara Appel Embun di halaman Belimbing. Ternyata panggilan karbol diterima dengan spontan antusias oleh para Taruna, setelah dijelaskan apa dan siapanya pahlawan angkasa yang bernama Dr Abdurahman Saleh itu.
Kelebihan-kelebihan lain Pak Karbol adalah karakter yang kuat dengan integritas pribadi yang luhur, cerdas, ulet dalam berkarya, tampa pamrih dan terutama ciri khas serba-bisa-nya itu. Dan akhirnya panggilan bagi setiap taruna AAU itu dikukuhkan, berdasarkan SK KASAU Nomor Skep 179/VII/2000, tanggal 18 Juli 2000 Kini mereka resmi dipanggil “Karbol”.
[1] Saat ini nama Lanud Bugis telah berganti dengan Lanud Abdulrachman Saleh.
[2] yang sekarang berubah nama menjadi Lanud Iswahyudi

Adakah perang di Lengkong pada tanggal 25 Januari 1946 ?


Mencermati usaha pihak TNI untuk mengangkat Hari Bakti Taruna menjadi kegiatan nasional yang nantinya akan diadakan setiap tahun bertempat di Akademi Militer Magelang maka patut rasanya kita bersyukur. Hal ini merupakan uluran tangan Pemerintah yang tidak ada taranya, yang besar artinya bagi pelestarian nilai-nilai juang angkatan 45. Dalam gagasan pihak TNI, semua kegiatan yang diadakan di Jawa Tengah tersebut, sifatnya sebagai simbul perjuangan para taruna, ikut berpartisipasi dalam Revolusi kemerdekaan Republik Indonesia periode tahun 1945-1949.
Yang dimaksud taruna disini, adalah kadet Akademi Militer Nasional dari seluruh Indonesia yang ada pada waktu itu.
Hari Bakti Taruna selama ini hanya diadakan dalam rangka upacara untuk memperingati gugurnya sejumlah kadet Akademi Militer Tanggerang dan 3 perwira TKR dalam “Peristiwa Lengkong” di Serpong Tanggerang pada tanggal 25 Januari 1946.
Menurut sejarah perjuangan yang telah sempat ditulis, pada tanggal 25 Januari 1946, atas prakarsa Kantor Penghubung Tentara yang berlokasi di jalan Cilacap no.5 Jakarta, telah diadakan rencana untuk pengambil alihan perlengkapan militer milik satu pasukan setingkat kompi yang berada dalam markas mereka didesa Lengkong Serpong Tanggerang Jawa Barat. Pasukan Jepang ini dipimpin seorang perwira Jepang berpangkat Kapten, bernama Abe. Rencana ini tidak mungkin dilaksanakan menurut prosedur, yaitu melalui persetujuan dan izin pihak sekutu yang telah muncul sebagai pemenang perang dunia ke II dan memiliki tugas dan tanggung jawab perlucutan tentara Jepang. Maka timbullah gagasan dari pihak kantor penghubung dan Mayor Daan Jahja selaku kepala staf Resimen IV di Tanggerang untuk meminta bantuan Let.Kol Myamoto yang jabatannya saat itu adalah pembantu khusus May.Jen Yamamoto selaku GunSeiKan (Kepala Pemerintahan Militer Tentara ke 16 Jepang di Jawa). Apa bila hal tersebut bisa diterima dan disetujui Myamoto, maka kemudian timbul pertanyaan. Atas kompetensi apa pihak Jepang mengatur dan melaksanakan hal itu, mengingat sejak tanggal 15 Agustus 1945, Kaisar Jepang telah menyerah tampa syarat dan mematuhi keputusan Postdam. Ketika pihak kantor penghubung mencoba mencari Myamoto, ternyata yang bersangkutan sedang berada di Bandung untuk suatu urusan. Dan mungkin karena waktu sudah sangat mendesak, dimana rencana itu harus segera dilaksanakan. Atas prakarsa pihak Kanntor Penghubung Tentara Jakarta dan Resimen 4 Tanggerang, dibuatlah tipu muslihat untuk mengelabui pimpinan Kompi Jepang di Lengkong. Caranya adalah dengan mengikut sertakan 6-7 orang tentara sekutu berkewarganegaraan India, sehingga seolah-olah benar rombongan yang akan mengoper perlengkapan militer tersebut adalah atas persetujuan pihak sekutu. Dalam pelaksanaan tugas, telah ditunjuk Mayor Wibowo Moekiman sebagai wakil dari Kantor Penghubung, Kapten Soebianto dan Letnan Soetopo selaku wakil dari Resimen 4 Tanggerang. Sebagai pimpinan rombongan rupanya disepakati Mayor Dan Mogot. Perwira senior dari wilayah resimen 4 yang juga menjabat direktur Akademi Militer Tanggerang. Rombongan juga mengikut sertakan sejumlah Taruna Akademi Militer Tanggerang yang saat itu telah menjalankan masa pendidikan militer perwira selama 3 bulan lamanya.
Dengan menumpang sebuah Jeep dan dua buah truk, rombongan telah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik, antara lain sudah sempat dilakukannya penempatan sejumlah senjata oleh para taruna keatas truk. Tapi ketika proses itu sedang berlangsung, tiba-tiba terjadilah peletusan tembakan senjata yang sumber dan arahnya tidak diketahui dari mana. Semua berjalan sangat cepat, dimana pihak Jepang telah merebut senjata-senjatanya kembali dan bersikap siap tempur dan melakukan tembakan-tembakan kearah para Taruna. Pada awalnya mungkin telah terjadi kekacauan, tapi selaku pasukan Combatant berpengalaman, tentu saja pasukan Jepang lebih sempurna berada dalam situasi siap tempur. Karena kurang pengalaman dan mungkin juga berada pada tempat terbuka, kelompok Taruna dengan mudah menjadi sasaran empuk pihak penyerang. Killing Field ini terletak diantara kebun karet yang terletak persis dimuka markas tentara Jepang di Lengkong yang saat ini masih bisa dilihat lokasinya. Dalam peristiwa ini telah gugur sebanyak 33 orang Taruna dan 3 orang perwira TKR
Sekarang timbul pertanyaan apa yang sebenarnya terjadi pada tanggal 25 Januari 1946 didesa Lengekong tersebut ? sebagai Peristiwa kebetulan, Perang-Pertempuran atau sebuah tindakan yang gegabah-salah.? (Incident, War-Battle or Blunder). Melihat dalam hal ini tidak ada unsur perang, karena perang harus didukung oleh adanya konflik. Dan terlalu kejam dan kurang bijaksana kalau korban yang jatuh disetarakan sebagai korban dari rencana dan tindakan gegabah-salah dan tidak bertanggung jawab, maka seyogyanga istilah peristiwa kebetulanlah yang dipakai. It was really an Incident.