Jumat, 22 Desember 2006

Sebelum menikah dengan Hartini. Soekarno tidak melakukan Poligami

Dalam bukunya "Mohammad Hatta, memoir", Bung Hatta yang ayah Menteri Peranan Wanita Meutia Hatta ini bercerita soal proses perkawinan Soekarno dan Fatmawati pada zaman Jepang : "Pada suatu waktu aku dengar berita, bahwa Soekarno akan kawin lagi dengan seorang anak didiknya di Bengkulu, yang namanya yang asli diubah menjadi Fatmawati. Wanita ini tidak lama lagi akan datang ke Jakarta. Alasan Soekarno ialah bahwa Ibu Inggit tidak dapat mempunyai anak lagi, sedangkan Soekarno ingin mempunyai turunan. Menurut Kyai Mansur, mungkin Ibu Inggit tidak berkeberatan, sebab ia sendiri kenal Fatmawati. Waktu di Bengkulu, Fatmawati sering datang ke rumahnya dan sering pula bergaul dengan dia. Malahan dipandangnya sebagai anaknya sendiri. Dalam pada itu, atas petunjuk Soekarno, Shimizu dapat mengusahakan, supaya Pegangsaan Timur 56 dapat ditentukan untuk rumah kediaman Soekarno. Ibu Inggit masih tinggal di rumah di pojok jalan Oranye Boulevard dan jalan Mampang. Pada suatu hari Soekarno datang ke kantorku, mengatakan kepadaku, bahwa ia terpaksa bercerai dengan Inggit, tetapi beberapa syarat yang berhubungan dengan perceraian itu dibuat di muka anggota empat serangkai lainnya. Aku menjawab bahwa apabila perceraian itu tidak dapat dihindarkan, aku bersedia, syarat-syarat akibat perceraian itu dibuat oleh empat serangkai pada kantorku itu. Harinya kami tentukan keesokan harinya, kira-kira jam 10 pagi dan Soekarno akan memberitahukan kepada Dewantoro dan Kiayi Mansur. Keesokan harinya pada jam 10 pagi kami bersidang dikamarku. Syarat itu ialah : 1. Soekarno akan memberi belanja hidup saban bulan kepada Inggit selama hidupnya. 2. Soekarno akan membelikan sebuah rumah di Bandung untuk kediaman Inggit seumur hidupnya. Kedua syarat itu dibuat dimuka empat serangkai dan ditanda tangani oleh empat serangkai masing-masing. Aku kira syarat itu tidak berat dan masuk akal. Soalnya ialah siapa yang akan mengawasi bahwa kedua syarat itu dilaksanakan oleh Soekarno ?". Shimizu adalah kepala pusat propaganda bala tentara Jepang ke 16 yang amat berkuasa untuk membagi-bagi rumah tinggalan Belanda. Oranye Boulevard adalah jalan Diponegoro sekarang dan jalan Mampang adalah jalan Tjikditiro sekarang. Empat serangkai adalah istilah kelompok para pemimpin Indonesia dizaman Jepang yang dijuluki oleh Soekardjo Wirjopranoto pimpinan surat kabar Asia Raya. Mereka adalah Soekarno, Hatta, Kiayi Mas mansur dan Kihajar Dewantoro. Foto atas : Hari Ibu tanggal 22 Desember 1947 bertempat dialun-alun Yogya. Tampak baris depan, dari kiri kekanan Bu Dirman, Bu Fatmawati, Pak Dirman dan Presiden Soekarno. Sedang berpidato Ibu SK Trimurti.

HBN tgl 19 Desember 1948 bukan hanya lahirnya PDRI

Kelahiran Pemerintah Darurat R.I (PDRI) Ditetapkan sebagai Hari Bela Negara (HBN). Presiden SBY mengeluarkan Keppres, tgl 19 Desember sebagai Hari Bela Negara. Keppres itu diungkapkan dalam sambutannya pada Hari Nusantara ke-7, Senin (18 Des ‘06), di Pelabuhan Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan Bungus Padang. Presiden menyampaikan diluar teks, sebagai apresiasi perjuangan PDRI tahun 1948 yang memiliki arti penting bagi keutuhan NKRI. "Ditetapkannya tgl 19 Desember karena di saat itu pemerintahan Yogyakarta tidak berjalan. PDRI membuktikan NKRI masih ada. Artinya, PDRI merupakan bagian dari sejarah", tandas Yudhoyono. Ditetapkannya HBN, bukan sekadar hari bersejarah bagi masyarakat Sumbar, namun juga bagi seluruh rakyat Indonesia . Menanggapi Keppres tersebut, Gubernur Sumbar H Gamawan Fauzi merasa bahagia. "Ternyata usulan masyarakat Sumbar soal HBN sudah ditandatangani, Kami merasa bahagia dan bangga atas ditetapkannya HBN".Namun sangat disayangkan penetapan HBN kurang dipersiapkan dengan baik, sehingga makna sejarahnya tidak nampak secara jelas. Misalnya mengenai tanggal 19 Desember 1948 bukanlah hari berdirinya PDRI di Bukit Tinggi. PDRI didirikan di perkebunan Teh Halaban pada tanggal 22 Desember 1948. Jadi kalau tanggal 19 Desember dianggap HBN, maka yang dimaksud bukanlah PDRI, tapi “Perintah Kilat Panglima Besar Soedirman”dan radiogram Pemerintah Yogya yang tidak pernah diterima oleh orang-orang yang kemudian mendirikan PDRI. Namun PDRI tetap berdiri karena sudah direncanakan lama. Kalau sewaktu-waktu Belanda melaksanakan Aksi Polisionilnya yang ke II, maka Pemerintah Darurat harus dibentuk. HBN tidak salah juga, karena hari bersejarah menghadapi serangan militer Belanda ke Ibu Kota Yogya dan wilayah RI lainnya, Rakyat Indonesia diseluruh tanah air serentak mengadakan upaya “Bela Negara”. Dengan urut-urutan : Melaksanakan Perang Gerilya Rakyat Semesta secara fisik dipimpin Panglima Besar Soedirman, diseluruh tanah air untuk mempertahankan NKRI yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Menyelenggarakan perjuangan diplomasi diluar negeri khususnya di PBB dipimpin oleh Nico Palar dan Pembentukan PDRI berdasarkan surat mandat Pemerintah Yogya dengan ketua Mr Sjafroedin Prawiranegara. PDRI penting, karena tanpa PDRI, keabsahan pejuangan fisik dan diplomasi yang dilakukan rakyat Indonesia menjadi dipertanyakan. Foto atas : Rumah ketua PDRI Sjafroedin Prawiranegara di Bidar Alam yang dipergunakan juga untuk kantor pemerintahan.

Selasa, 19 Desember 2006

Kemitraan menyeluruh Indonesia-Belanda

Seperti pernah diberitakan oleh Men.Lu Hasan Wirayuda ketika berpidato dalam peringatan 60th Perundingan Linggajati di Kuningan tanggal 11 November 2006, bahwa Men.Lu Bernard Bot akan datang ke Indonesia pada bulan Desember 2006 dan bersama Men.Lu RI akan menandatangani sebuah leter of Intent dalam rangka menuju kesepakatan menyeluruh atau Comprehensive Partnership. Dibawah ini adalah laporannya yang dibuat oleh wartawan Radio Nederland Aboeprijadi Santoso.
----------------------------------------------------------------------------
Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot dalam kunjungan kerjanya di Indonesia, bersama rekannya Hassan Wirajuda, telah menandatangani sebuah Letter of Intent, Naskah Pernyataan Kehendak, di Yogyakarta. Sebelumnya Menlu Belanda berada di Bali untuk mengenang 200an korban bom Bali, termasuk empat warga Belanda. Naskah Pernyataan Kehendak kedua negara akan dikembangkan menjadi suatu pernyataan bersama tentang "comprehensive partnership" atau kemitraan menyeluruh, yang akan ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Jan Peter Balkenende, pertengahan tahun depan di Den Haag. Inilah puncak hubungan yang dua negara yang berbagi sejarah yang panjang, tetapi sekarang ingin melongok jauh ke depan.
Belum pernah dua menteri Belanda dan Indonesia saling berkunjung dan tatap muka begitu sering seperti Menlu Bernard Bot dan rekannya Hassan Wirajuda, dan juga sejumlah menteri kedua negara lainnya. Intensitas yang tinggi dan hangat itulah, yang kini membuahkan pernyataan itikad kerjasama menyeluruh. Demikian Menlu Hasan Wirajuda.
Hassan Wirajuda: "Dalam rangkaian konsultasi yang begitu intensif, kami sepakat untuk mengembangkan hubungan bilateral Indonesia ke arah suatu kemitraan menyeluruh, comprehensive partnership. Pada hari ini kami menandatangani dokumen letter of intend atau naskah kesepakatan untuk merampungkan dan menandatangani dokumen comprehensive partnership pada tahun depan. Dengan comprehensive partnership kita maksudkan upaya mengembangkan dan memperdalam, to expand and deepen berbagai aspek hubungan bilateral Indonesia-negeri Belanda. Bayangkan ini suatu tingkatan hubungan yang tidak hanya menyeluruh tapi juga menandakan pentingnya hubungan bilateral kedua negara."
Rekan Hassan, Menlu Bernard Bot, juga tak lupa menekankan hangatnya hubungan kedua negara. Apalagi, sebagai orang yang lahir di negeri ini, saya merasa memiliki perasaan khusus dengan Indonesia ini, katanya.
Bernard Bot: "Kunjungan terakhir saya ke Indonesia 17 Agustus 2005 menandai perubahan dalam hubungan antara dua negara. Sangat penting untuk tidak melihat ke belakang pada apa yang sudah terjadi, melainkan melihat ke masa depan untuk mencari tahu apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki hubungan yang sudah sangat baik ini antara dua negara. Saya bahagia hari ini kita dapat menandatangani nota kesepahaman yang sangat penting ini, karena menandakan awal hubungan baru di atas hubungan yang telah kami jalin, yang telah kami jaga tahun-tahun belakangan."
Yang juga penting, perluasan hubungan kedua negara ini juga akan mencakup bidang kerjasama agama. Menlu Bot mengakui pentingnya Indonesia sebagai negara demokratis yang bermayoritas Muslim sebagai pemain politik global
Bernard Bot: "Indonesia merupakan negara Islam terbesar dengan lembaga-lembaga demokratisnya. Ini menandakan bahwa Islam adalah agama perdamaian. Apabila negara-negara seperti Belanda dan Indonesia bisa bekerja sama, kami bisa menunjukkan kepada negara-negara lain di dunia bahwa di masa mendatang kami ingin membangun kerjasama antar agama. Selain itu kami juga ingin menunjukkan bahwa benturan antar peradaban tidak perlu. Malah sebaliknya, yaitu bahwa kami bisa bekerjasama untuk dunia yang damai."
Jakarta tentu gembira dan terpuji karena pandangan dan niat politik globalnya yang menentang dan memerangi "clash of civilization" yaitu benturan antar peradaban, kini juga disambut Belanda, negara yang menjadi jembatan penting Indonesia dengan Uni Eropa.
Laporan ini ditulis oleh wartawan Radio Nederland : Aboeprijadi Santoso

Sabtu, 16 Desember 2006

Surat dari Let.Kol Dr M.Natsir Said SH kepada Westerling



Ada sebuah surat tertanggal 13 April 1977, ditandatangani oleh Let.Kol Dr M.Natsir Said SH selaku ketua Team Penelitian Sejarah Perjoangan SULSERA Kodam XIV (alamat jalan WR Supratman no.2 Ujung Pandang), yang bekerja sama dengan Universitas Hasanudin dan IKIP Ujung Pandang. Isinya berupa jawaban atas surat terdahulu tertanggal 8 Maret 1977 dari RPP Westerling yang meminta keterangan mengenai angka 40.000 korban Westerling di Sulawesi Selatan pada ahir tahun 1946. Dijelaskan oleh Let.Kol Natsir bahwa angka 40.000 muncul pertama kali setelah aksi polisionil pertama di Jawa. Angka ini dinyatakan oleh Kahar Muzakar (selaku komandan dari TRI Persiapan Sulawesi), KS Masud, Muhammadong, M.saleh Lahade dan perwira lainnya dari Sulawesi selatan beserta para perwira dari Markas Besar tentara Republik Indonesia. Dan inilah yang dilaporkan kepada Presiden Soekarno. Let.Kol Natsir juga menjelaskan bahwa dari data-data yang didapatkannya dari Onderafdeling Jeneponto, tercatat korban yang mati antara tahun 1945 - 1950 adalah sebesar 565 orang. Dimana 256 diantaranya berasal dari periode bulan Desember 1946 sampai Februari 1947. Apakah surat ini benar ?. Adakah surat dimaksud mendapat persetujuan dari Masyarakat Sejarawan Indonesia pada masa lalu dan sekarang ?. Rasanya ini perlu dikaji ulang kembali, khususnya berkaitan dengan 60 th peringatan "Korban Keganasan westerling di Sulawesi Selatan" Foto atas : Peringatan 1 tahun korban Westerling tanggal 11 Desember 1947 di Kepatihan Yogyakarta.

Jumat, 08 Desember 2006

Rawagedeh 9 Desember 1947, 59 th yang lalu



Pada 59 th yang lalu, tepatnya tanggal 9 Desember 1947 telah terjadi pembunuhan masal yang dilakukan tentara Belanda didesa Rawagedeh Krawang. Saat itu, pagi hari desa diguyur hujan cukup deras yang mengakibatkan penduduk terpaksa tinggal didalam rumah. Tiba-tiba saja datang serombongan besar tentara Belanda yang melakukan penangkapan terhadap kaum laki-laki, dilanjutkan eksekusi tanpa prosedur hukum. Menurut catatan sebanyak 431 orang terbunuh langsung ditempat. Alasan tentara Belanda melakukan tindakan keji ini adalah mencari gerombolan ekstrimis yang menurut khabar bermarkas didesa tersebut. Selesai melakukan hal ini, pasukan Belanda pergi dari desa, meninggalkan sejumlah mayat yang diterlantarkan begitu saja. Mayat baru selesai dikubur pada sore harinya, atas usaha kaum perempuan. Kini pada lahan kuburan tua ini, didirikan Monumen Rawa Gedeh, dan kuburan lama telah dipugar menjadi kuburan baru dengan nama-nama mereka diatas nisan berbatu marmer. Memang Pemerintah kini telah peduli memperhatikan para pahlawannya, yang mati untuk kemerdekaan Republik Indonesia. Bagi para pengunjung yang datang, dapat mengunjungi makam, monumen dan musium kecil yang terletak disekitar situ serta bisa ikut membayangkan bagaimana terjadinya peristiwa Rawagedeh. Atas usaha Yayasan Rawagedeh, setiap tahun dilaksanakan peringatan peristiwa Rawagedeh. Dan sejumlah pejuang kemerdekaan serta pejabat Pemerintahan secara tetap melakukan peringatan ditempat ini. Tidak kurang Panglima TNI, Kasad, Gubernur Jawa Barat, Panglima Kodam 3 SILIWANGI, wakil duta besar Belanda dan pimpinan Partai Politik atau LSM tertentu pernah berkunjung ke monumen ini. Bagaimanakah duduk persoalan sehingga terjadi pembantaian ini ?. Cerita pokok yang selalu disampaikan adalah. Dalam usaha tentara Belanda mencari seorang tokoh pejuang bernama Kapten TNI, Lukas Kustaryo yang dianggap musuh no.1 Belanda, maka mereka mendatangi desa Rawagedeh. Menurut pengakuan Lukas belakang hari, dia tidak tahu menahu soal dicari dirinya oleh Belanda. Bahkan dia belum pernah ke desa Rawagedeh. Lalu kenapa kenapa terjadi pembunuhan masal itu ?. Mungkin pemikiran sederhana yang selama ini dikaitkan dengan sejarah, masih belum beranjak pada tindakan sewenang-wenang kaum penjajah. Belanda menganggap rakyat Rawagedeh lah yang harus bertanggung jawab gagalnya pencarian Kapten Lukas tersebut. Padahal masih banyak misteri yang pantas dikaitkan desa Rawagedeh, terutama peristiwa lain yang menyangkut tokoh atau situasi politik-militer saat itu. Misalnya kenyataan bahwa, pada bulan Desember 1947, wilayah Krawang dan sekitarnya, sudah diduduki Belanda, yang merupakan hasil gerakan aksi polisionil pertama mereka, selama 1 bulan sejak tanggal 21 Juli 1947. Dimanakah kesatuan TNI saat itu ?. Rupanya menghadapi perundingan Renville Jnuari 1948, dimana disetujui wilayah Jawa Barat (kecuali Banten) akan diserahkan kepada Belanda, maka kesatuan TNI dari Divisi SILIWANGI siap akan dipindahkan ke Jawa Tengah. Pada umumnya mereka sedang berkemas dan dikonsinyir. Untuk memantau penghentian tembak menembak antara Indonesia-Belanda pada tanggal, 4 Agustus 1947, dibentuklah komisi internasional. Mula-mula apa yang disebut Panitia 6 Konsul (Amerika, Inggris, Cina, Perancis, Australia dan Belgia) dan akhirnya terbentuknya Komisi Tiga Negara (KTN, Amerika, Australia dan Belgia). Tanggal 27 Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB menerbitkan resolusi untuk realisasi gencatan senjata. Sementara Belanda melalui Konperensi Jawa Barat tanggal 13 Oktober 1947, menunjuk RECOMBA untuk ikut campur mempersiapkan berdirinya negara Pasundan. Dan atas usaha sejumlah tokoh sunda yang pro Belanda didirikanlah Partai Rakyat Pasundan (PRP). Artinya sebelum Renville, Jawa Barat telah bergolak. Rakyat Jawa Barat yang anti Belanda pun ikut bergerak. Diantara para pentolan pemudanya ada seorang anggota API (Angkatan Pemuda Indonesia) Bandung bernama Soedjono. Soedjono kemudian hari (1949) juga muncul dalam pergolakan Kawi Selatan. Bersama sejumlah kelompok bersenjata dari Resimen Macan Citarum, khabarnya Soedjono mengadakan gerakan perlawanan terhadap Belanda didaerah Jawa Barat sebelah utara. Padahal Macan Citarum sebagai bagian dari Laskar Rakyat Rakyat Jawa Barat didaerah Krawang resminya telah dihancurkan TRI pada bulan Mei-Juni 1947. Ketika daerah Krawang diduduki Belanda, Laskar secara sporadis, muncul kembali. Tindakan sempalan Laskar Rakyat ini kadang terhitung brutal. Tentu saja bagi Belanda yang sudah menguasai daerah sekitar Krawang ini merupakan tantangan. Beberapa kejadian, seperti penyerangan patroli Belanda, pembunuhan orang-orang Cina, pembakaran, pemutusan kabel tilpun, pemotongan pohon pinggir jalan yang dipalangkan dan sebagainya banyak dituduhkan kepada kelompok mereka. Adakah hubungannya gerakan PRP, operasi pembersihan gerombolan ekstrimis, akan munculnya pemerintahan Pasundan melalui konpernsi Jawa Barat, dengan peristiwa Rawagedeh ?. Perlu penelitian tersendiri tentunya. Tapi yang pasti mereka yang dengan gigih tetap melawan Belanda saat itu dan gugurnya rakyat sipil yang tidak berdosa ini perlu dihargai dan mendapat perhatian Bangsa Indonesia umumnya.