Senin, 16 April 2007

Kota tua mestinya bukan hanya kenangan

Dahulu ada Gubernur yang memperkenalkan BMW (Bersih Manusiawi dan Wibawa). Kota tua kini dalam perbaikan dan persiapan sebagai kota turis sejarah. Kota ini bukan hanya warisan sejarah, tapi bisa jadi modal untuk mengelola aset turisme yang amat menguntungkan sekali dimasa depan. Bagaimana caranya ?. Pertama jangan merubah citra. Membangun hal yang baru adalah kepalsuan. Lebih penting pelestarian dan menata kembali sesuai asli. Hindari pengeluaran biaya besar serta melibatkan para penghuni atau pemilik aset. Kebersihan dan keamanan adalah tindakan nomor satu. Baru seteah itu pengorganisasian dan pengelolaan secara profesional. Atribut lama, jangan sampai dinodai retorika kepahlawanan yang tidak perlu dan salah kaprah. Mungkin bukan hal aneh kalau justru pihak-pihak terkait pada masa lalu membuka kios mereka. Mungkinkah kita menikmati kembali daerah kota tua seperti gambar diatas ?.

The first Indonesian boat people

Among the first were a group of Indonesians who came on their own - the first 'boat people'. In March 1942 a group of 67 Javanese men, women and children who had been living in Sumatra attempted to sail back to Java. Trained fitters and turners, the men were required to report for work at the Dutch arsenal in the town of Bandung. However, the speed of the Japanese invasion made this impossible, and the group turned south. After a hazardous journey they reached Fremantle, in Western Australia. There they were told to continue to Port Melbourne, arriving in April. As their ship docked, local Melburnians were treated to a sight they had never seen before. The Javanese were gathered on deck, wearing traditional dress: colourful sarongs, sashes and long lace blouses for the women, some of them suckling babies; sarongs, black jackets and caps and ceremonial kris for the men. John Guthrie, a young boy living at Port Melbourne at the time, recalls the excitement as word spread and he and his friends raced to the dock. Of particular interest was the fact that these were 'brown' people, whom the boys had never seen before. Dutch officials met the ship, but were at a loss to know what to do with these unexpected arrivals. Finally they asked the advice of Rev John Freeman, minister of the Port Melbourne Methodist Church, who agreed to help. With permission from the church authorities the church hall was turned into home for the refugees for the next three years. Small rooms off the main hall were allotted to family groups. Single men used the hall itself. Dutch authorities and the Red Cross provided furniture, bedding, clothing and equipment. A communal kitchen was set up.
Aided by some of the local community, the Freeman family helped the refugees settle in to daily life in their temporary home. A kindergarten was established, attended by both Indonesian and Australian children. The older children attended the Nott Street primary school, where they soon learned English and excelled at their studies. Mrs Freeman took particular care of the women, taking them shopping, arranging hospitalisation when babies were born and generally looking after their welfare. A journalist from the newspaper The Argus, who visited the hall commented: 'In this little corner of Port Melbourne, East has met West'. The men, meanwhile, had much-needed technical skills. Rev Freeman had no trouble finding work for them in the government aircraft factory at Fishermen's Bend. The Indonesians made many friendships in the Port Melbourne community. John Guthrie and other young men took the opportunity to explore a new culture. They even learned to speak 'Malay' (Indonesian). In return, they took their new friends to Australian Rules football matches, ice-skating and the theatre. These friendships later led Guthrie to take part in demonstrations and marches in support of Indonesian independence. They were held in Melbourne after the world learned of Sukarno's 'proklamasi' of 17 August 1945. Jan Lingard (jan.lingard@asia.usyd.edu.au)

Selasa, 03 April 2007

Wilayah RI Dicaplok Malaysia ?

Jati Diri Jawa Pos, Jumat (30/3/07), berpendapat bahwa salah satu masalah krusial yang menyangkut kedaulatan RI adalah soal perbatasan dengan negara tetangga, khususnya Malaysia. Ketidakpedulian kita merawat Pulau Sipadan dan Ligitan yang divonis Mahkamah Internasional (MI) menjadi milik Malaysia pada 2004 harus menjadi "guru" yang menyadarkan para pemimpin nasional.Karena itu, hentikan saja niat interpelasi anggota DPR kepada pemerintah lantaran pemerintah mendukung DK PBB yang akan memberikan sanksi kepada Iran tentang program nuklirnya. Lebih baik energi dan kepedulian wakil-wakil rakyat diberikan kepada masalah-masalah domestik seperti ancaman pencaplokan wilayah perbatasan RI oleh negara tetangga.Pendapat Jawa Pos itu menjadi relevan lagi karena saat ini memang ada indikasi pencaplokan sebagian daerah perbatasan di Kalimantan Timur (Kaltim) oleh Malaysia. Sekitar 1,5 kilometer perbatasan Kaltim, khususnya di Kutai Barat yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia, terindikasi telah dicaplok menjadi wilayah Malaysia.Itu benar-benar preseden buruk yang memalukan. Lagi-lagi, masalahnya muncul karena kita kurang peduli dan kurang serius menjaga serta merawat daerah perbatasan. Sama dengan ketika kita kehilangan Sipadan dan Ligitan.Kasus-kasus seperti itu tidak lagi hanya menyalahkan negara lain. Tidak bisa hanya menyalahkan Malaysia. Kita harus bertanggung jawab atas daerah tumpah darah bangsa dan tanah air RI. Belum jelas benar, bagaimana dan mengapa Malaysia sampai bisa mencaplok wilayah perbatasan RI di Kaltim sampai sejauh 1,5 kilometer. Tetapi, tampaknya, Malaysia tidak bisa dituduh sebagai pihak yang ekspansionis.Sangat mungkin kita sendiri yang tidak telaten, tidak teliti, dan lengah dalam menjaga tanah air bangsa Indonesia di daerah perbatasan. Misalnya, lengah menjaga rambu-rambu tapal batas. Membiarkan tanda atau rambu-rambu rusak atau hilang, sehingga Malaysia bebas menentukan wilayahnya menurut versi pemerintahnya. Kalaupun Malaysia terbukti bersalah -memang mencaplok sebagian wilayah Kaltim-, kita juga ikut bertanggung jawab. Mengapa? Sebab, kita membiarkan Malaysia sampai bisa mencaplok wilayah perbatasan.Berarti, aparat penjaga perbatasan kecolongan. Mereka tidak tangkas menjalankan tugas, sehingga Malaysia sampai bisa mencaplok perbatasan RI.Karena itu, wakil-wakil rakyat di parlemen harus segera datang dan melihat sendiri daerah perbatasan di Kutai Timur yang dicaplok Malaysia. Anggota DPR harus bisa membuktikan apa sebenarnya yang terjadi di daerah yang berbatasan langsung dengan Malaysia tersebut.Mereka perlu segera membuat rekomendasi apa yang seharusnya segera dilakukan pemerintah RI untuk merebut kembali wilayah perbatasan yang dicaplok Malaysia itu. Menata wilayah perbatasan, merawat, dan menjaganya jauh lebih penting daripada ramai-ramai mempersoalkan dukungan RI kepada DK PBB untuk memberikan sanksi untuk Iran tentang program nuklirnya.Sinyalemen Jawa Pos diatas, rupanya menggelitik perasaan bangsa Indonesia. Mungkinkah kita memiliki rasa bernegara yang pantang dijajah oleh siapapun sebahagian atau secara menyeluruh ?. Persaan itu rupanya paling optimal cuma saat Republik Indonesia baru Merdeka, kira-kira pada bulan September 1945. Foto diatas menggambarkan. Dimana-mana ada coretan yang menentang invasi kekuatan asing. Pada Trem Jatinegara-Kota ini tertulis kata-kata "Better to the Hell than tobe Clonize again" Mungkin kita perlu meniru Jati Diri Bangsa Indonesia saat itu.