Senin, 03 Oktober 2011

Hibah Rp 10 Miliar Belum Diterima Korban Rawa Gede

Pemerintah Diminta Proaktif Sikapi Putusan Belanda
Rakyat Merdeka 
Selasa, 20 September 2011 , 01:40:00 WIB
DPR Akan Panggil Menlu, Mendagri & Menkumham
Bantuan hibah bagi korban tragedi Rawagede sebesar Rp 10 miliar yang dikirimkan pemerintah Belanda ke Indonesia dua tahun lalu menjadi misteri, raib tanpa jejak.  Kementerian Dalam (Ke­men­­dagri) yang disebut-sebut se­bagai pihak yang menerima ban­tuan ter­sebut membantah keras. Sementara, para ahli waris kor­ban trage­di Rawagede sampai saat ini be­lum bersikap atas ban­tuan hibah tersebut. “Tidak benar ada uang Rp 10 mi­liar. Sumbernya siapa dan dari­mana, kita juga tahunya dari me­dia. Tapi, informasi uang itu juga akan kami cek kebenarannya,” kata Kapuspenkum Kemendagri, Rey­donnyzar Moenek kepada Rak­yat Merdeka, di Jakarta, kemarin. Kemendagri, kata dia, akan meng­kaji kebenaran hasil putu­san pengadilan di Den Haag, Be­landa terkait kasus tersebut, dan berkoordinasi dengan Kemente­rian Luar Negeri, Kementerian Hu­kum dan HAM, dan Kemen­terian Keuangan. “Kita juga belum mengetahui secara pasti, tahunya malah dari me­dia massa. Perlu dicek ulang dan mendalam apakah benar ke­putusan itu. Kita juga akan mem­pertanyakan, apakah kasus rawa­gede itu gugatan goverment to go­verment, private to govern­ment,atau private to private, ten­tunya ini perlu kajian lagi,” katanya. Terpisah Ketua Yayasan Ra­wagede, Sukarman membenar­kan keluarga korban pembantaian Rawagede belum menerima ban­tuan hibah dari Belanda pada 21 Februari 2009 itu.  Menurutnya, para korban tidak bisa berbuat apa-apa terhadap dana ter­sebut, karena itu dana hibah, bukan ganti rugi.  “Sampai saat ini para ahli waris belum menerima dana tersebut, karena itu dana hibah, maka yang berwenang untuk mengurus dan membagikannya kapada masya­rakat adalah Ke­menterian Dalam Negeri atau Pe­merintah Daerah. Jadi tidak bisa menggugatnya,” katanya. Menurut Sukarman, sampai saat ini baik keluarga maupun lem­ba­ganya tidak tahu menahu mengenai keberadaan dana terse­but.  “Saya tidak tahu apakah saat ini dananya ada di Kemen­da­gri, di pemda atau dimana. To­long Tanya kepada mereka saja,” pintanya. Dari Senayan, anggota Komisi III DPR Saan Mustopa mendesak Kementerian Hukum dan HAM selaku mitra kerja lembaganya untuk memastikan posisi putusan pengadilan kasus Rawagede.  “Dari situ pemerintah bisa mengambil tindakan,” ucap po­litisi asal Karawang ini. Anggota Komisi I DPR Mu­ham­mad Najib mendesak pe­me­rintah menindaklanjuti ke­putusan Pengadilan Sipil Den Haag, Belan­da, yang memerin­tah­kan Pemerintah Belanda mem­bayar ganti rugi terhadap sem­bilan korban peristiwa Ra­wagede.  “Ini sangat baik. Ini bagian ke­cil dari fakta-fakta sejarah yang kita miliki. Langkah awal yang menjadi pintu masuk ke kasus-kasus pelanggaran HAM perang lainnya,” katanya.

Untuk membuktikan perhatian legislatif terhadap penuntasan kasus Rawagede, Komisi I DPR akan memanggil Kemenlu, Ke­men­kum HAM, dan Kemen­dagri untuk meminta pen­jelasan terkait proses hukum dan dana ganti rugi para korban.  “Se­cepatnya kami akan me­manggil Kementerian terkait untuk men­jelaskan masalah ini,” tegasnya. Pakar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hik­mahanto Juwana, mengatakan, pemerintah sebainya bersikap pro­aktif membantu para ahli wa­ris korban peristiwa Rawagede un­tuk mendapatkan hak-haknya berdasarkan putusan pengadilan di Den Haag, Belanda pekan lalu.  “Pemerintah bisa menjadi fa­si­litator dengan menyediakan penga­cara, arsip sejarah, atau ban­tuan fasilitas,” katanya. Menurutnya, hal itu penting di­lakukan pemerintah untuk mem­bantu warganya sebab keputusan Pengadilan Negeri Den Haag be­lum bersifat hukum final, karena bisa ditempuh upaya hukum lan­jutan.  Untuk diketahui, peristiwa pembantaian Rawagede terjadi tahun 1947 di daerah Rawagede, Karawang, Jawa Barat. Dalam tragedi tersebut tercatat 431 laki-lakit terbunuh akibat kekejian tentara Belanda. Peristiwa ini bermula penca­rian pejuang kemerdekaan berna­ma Lukas Kustario. Dalam pen­cariannya tentara Belanda me­ma­suki Desa Rawagede dan meng­eksekusi penduduk laki-laki ka­rena menolak memberikan infor­masi mengenai keberadaan Kus­tario.  PBB mengecam pe­­ris­tiwa itu sebagai serangan disengaja dan kejam Pe­merintah Belanda meski kejadian pembantaian itu dike­tahui lewat film dokumenter yang ditayangkan tahun 1995.  Sepuluh tahun kemudian, Men­­teri Luar Negeri Belanda, Ben Bot menyatakan penyesalan atas se­jumlah serangan oleh pa­sukan Be­landa di beberapa wi­layah di Indonesia pada tahun 1947. Namun, Belanda memutus­kan untuk tidak menyeret pelaku eksekusi massa ke pengadilan. Pada 20 Juni 2011, sembilan janda korban pembantaian di desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat, mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pemerintah Belanda.  Para janda menuntut penga­kuan dan ganti rugi atas mening­galnya tulang punggung keluarga mereka.  Waktu itu, beberapa jan­da, dan korban selamat terakhir, Saih bin Sakam, khusus datang ke Belanda untuk proses ini.. Bagi Saih, pelaku pembunuhan massal tidak perlu lagi diseret ke pengadilan, permintaan maaf dan ganti rugi sudah cukup. Kemudian 14 September 2011 Pengadilan Den Haag menerbit­kan vonis atas perkara itu yang me­menangkan gugatan sembilan janda tersebut. Pengadilan me­merintahkan Pemerintah Benlada membayar sejumlah ganti rugi kepada penggugat.

Mereka Melobi Karena Tidak Diperhatikan

Haris Azhar, Koordinator Kontras

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekearasan (Kontras) menilai, kemenangan gugatan korban tragedi Rawagede, pada 14 September ke­marin merupakan hasil per­juangan warga, tanpa dukungan Pemerintah Indonesia. “Masyarakat, terutama ke­luarga korban pembantaian Ra­wagede, Karawang, Jawa Ba­rat, tidak mendapatkan per­ha­ti­an yang memadai. Kalaupun ada, itu hanyalah perhatian simbolik dari sejumlah individu pe­jabat TNI atau sipil keturu­nan Karawang,” kata Koor­dinator Kontras, Haris Azhar, dalam keterangan tertulis yang diterima Rakyat Merdeka.

Perjuangan menuntut Peme­rin­tah Kerajaan Belanda meru­pakan kerja keras warga dengan sejumlah yayasan untuk men­dorong kompensasi dari Peme­rintah Kerajaan Belanda.  Dijelaskan Haris, pada 1995 lurah setempat, dengan duku­ngan Pangdam Siliwangi saat itu, mendirikan Yayasan Rawa­ge­de. Yayasan ini kemudian yang dibantu Kharis Suhud (Be­kas Ketua MPR/DPR) se­ring mencari bantuan untuk para janda dan keluarga korban.  Pada 2005, lanjut Haris, ya-yasan ini kemudian bertemu de­ngan Komite Utang Kehor­matan Belanda (KUKB) dan mendorong kompensasi dari pemerintah Belanda. Yayasan itu kemudian mulai melakukan lo­bi politik ke pemerintah Be­lan­da, namun gagal. Setelah ga­gal, kemudian dilanjutkan de­ngan tindakan hukum pada 2009 melalui gugatan ke penga­dilan Belanda. Semen­tara, ya­ya­san lain, Sampurna War­­ga me­lakukan pemberda­yaan eko­nomi sosial, termasuk untuk para keluarga korban. “Mereka melakukan lobi ke Kedutaan Belanda karena ku­rang dapat perhatian pemerin­tah Indo­nesia. Mereka disetujui oleh pe­merintah Belanda untuk di­bantu dan uang diserahkan ke Ke­mendagri pada Desemeber 2010. Namun hingga kini ban­tuan tersebut tidak pernah dite­ri­ma yayasan tersebut,” papar­nya. Keluarga korban pemban­taian Rawagede mengaku Pe­me­rintah Belanda pernah mem­berikan ban­tuan hibah pada 2009 lalu se­besar Rp 10 miliar. Uang itu di­sa­lurkan melalui Ke­mendagri. Ironisnya hingga kini keluarga kor­ban belum pernah menerima hak­­nya. Para ahli wa­ris korban ha­nya berharap da­na konpensasi ini bisa sampai ke tangannya dan bi­sa dinik­ma­ti keluarganya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.