Perayaan 1 Mei 1946 (sumber tulisan bagian dari http://indoprogress.com/2011/04/28/bagaimana-1-mei-dirayakan-pada-masa-lalu-ii/)
Perayaan 1 Mei 1946 adalah perayaan pertama dalam alam kemerdekaan. Saat itu adalah masa Kabinet Sjahrir Kedua (Maret 1946 – Oktober 1946). Dengan membuka keran demokrasi parlementer, kabinet Sjahrir memastikan keleluasaan gerakan buruh. Sjahrir adalah seorang demokrat-sosialis yang mementingkan hak-hak buruh, setidaknya atas dua dasar: pembacaannya akan sistem negara Indonesia yang ia cita-citakan sebagai negara kesejahteraan, dan sokongannya terhadap gerakan buruh sebagai sumber mobilisasi massa. Karenanya, Kementerian Sosial yang dipimpin oleh Maria Ulfah, memberikan dukungan besar dalam pelaksanaan perayaan 1 Mei. Kementerian Sosial mengeluarkan satu Makloemat, yang isinya:
Kepada boeroeh harian jg. ikoet merajakan hari 1 Mei diberi gadjih teroes oentoek hari itoe. Kepada kantor2 Djawatan2 dan peroesahaan2 tsb diatas diperkenankan mengibarkan Bendera Merah disamping Sang Merah Poetih.
Secara strategis, Makloemat Kementerian Sosial itu sesungguhnya disusun sebagai jawaban positif pemerintah atas tuntutan dari gerakan buruh sebelumnya. Beberapa minggu sebelum 1 Mei, Barisan Boeroeh Indonesia (BBI) telah mengajukan tuntutan terbuka kepada Presiden agar 1 Mei dijadikan hari raya (sebab hari 1 Mei 1946 memang jatuh pada hari Rabu), dan “sekolah2 dan kantor2 soepaja ditoetoep oentoek menghormati hari itoe dan kepada kaoem boeroeh seoemoemnja diberikan kesempatan seloeas2nja oentoek merajakan hari kemenangan.”Jadi, inisiatif perayaan 1 Mei datang dari gerakan buruh, dan oleh karenanya, mereka mengajukan tuntutan kepentingan kepada negara. Negara memberikan jawaban positif atas tuntutan tersebut, dan bahkan selangkah maju mendukung 1 Mei agar dirayakan secara besar-besaran oleh gerakan buruh, dengan memberikan jaminan ekonomis pembayaran upah bagi buruh yang ikut merayakannya dan memperkenankan pengibaran bendera merah (yaitu, bendera simbol perjuangan buruh). Jawaban positif negara atas tuntutan dari gerakan buruh, bukanlah hal yang mengherankan. Dalam konteks negara yang baru merdeka, negara Indonesia hendak membangun citra yang membedakan dirinya dari negara kolonial yang dilawannya, yaitu dengan melindungi dan mendukung gerakan rakyat. Seperti yang terjadi juga di banyak tempat di Asia dan Afrika yang membebaskan dari cengkeraman kolonialisme Eropa, negara Indonesia yang akan dibangun bukanlah seperti negara kolonial yang menindas dan menyengsarakan rakyat (pribumi), melainkan berupaya mengakomodir sebisa mungkin segala kepentingan rakyatnya. Gerakan buruh, yang walaupun jumlahnya tidaklah besar di negara-negara yang baru merdeka ini, mempunyai peran sentral sebagai penggerak mobilisasi massa, sehingga dukungan sosial-politik gerakan buruh menjadi salah satu kunci utama bagaimana pondasi negara yang baru merdeka itu akan disusun. Dalam konteks demikian, Makloemat Kementerian Sosial dapat dipahami sebagai bentuk relasi simbiosis mutualis politik antara negara muda Indonesia dengan gerakan buruh. Tidak ada data sejarah yang menceritakan bagaimana pelaksanaan isi Makloemat Kementerian Sosial tersebut di dalam kenyataannya di lapangan. Apakah benar semua buruh yang “ikoet merajakan hari 1 Mei diberi gadjih teroes oentoek hari itoe”? Apakah sungguh terjadi diperkenankannya pengibaran “Bendera Merah disamping Sang Merah Poetih” di kantor-kantor pemerintah? Kita tidak dapat menjawab secara positif dua pertanyaan penting ini. Dengan demikian, tidak dapat disimpulkan bahwa tidak ada pelanggaran atas isi Makloemat itu. Walau begitu, penelusuran beberapa koran utama sepanjang tahun 1946, tidak menemukan adanya berita keluhan dari gerakan buruh atas perayaan 1 Mei 1946, sehingga kita cukup mengetahui bahwa perayaan 1 Mei 1946, sekalipun terjadi pelanggaran atas isi Makloemat, telah berjalan lancar. Patut diketahui pula bahwa persiapan perayaan 1 Mei 1946 telah dimulai beberapa hari sebelumnya. Jauh hari sebelumnya, Barisan Boeroeh Indonesia sudah membentuk “Panita Peringatan hari 1 Mei”. Tugas Panitia ini lebih berupa “penerangan-penerangan” – atau dalam kosakata kekinian: kampanye – perihal sejarah dan arti penting perayaan 1 Mei bagi buruh dan masyarakat umumnya. Maka itu, dapatlah kita ketahui konteks sosial-politik penulisan buku saku “Satoe Mei: Hari Kemenangan Boeroeh Sedoenia” karangan Sandra – yang mencoba menerjemahkan perayaan 1 Mei bagi buruh dalam alam kemerdekaan yang baru dinikmati rakyat Indonesia. Jadi, “penerangan” ditempuh lewat terbitan buruh. Selain itu, “penerangan-penerangan” ini juga dilakukan dengan memanfaatkan media utama pada jaman itu, yaitu: radio. Radio adalah media massa terpenting pada masa 1940-an – 1950-an yang dapat menjangkau masyarakat luas, dan perayaan 1 Mei (dianggap) sebagai hal penting yang perlu disiarkan dan diketahui rakyat umum. Gerakan buruh memberikan “penerangan-penerangan” lewat radio dalam siaran berita Antara. Kegiatan apa yang disusun, juga jadwal acara perayaan 1 Mei disebarkan ke masyarakat umum lewat radio. Menteri Sosial juga memberikan pidatonya lewat radio dalam perayaan 1 Mei 1946. Pidatonya berintikan dua hal, yaitu tentang “sedjarah sarekat kerdja di lain negeri”, dan juga harapan agar gerakan buruh “memberi bantoean dengan ikoet membangoenkan negara Indonesia jang merdeka.” Menariknya, Menteri Sosial juga menyebut program kerja Kementerian dalam menyusun satu “Oendang-oendang Sosial jang ditoejoekan kepada perbaikan nasib rakjat Indonesia seoemoemnja.” Oendang-oendang sosial ini dalam perkembangannya di kemudian hari menjadi UU No. 12/1948 tentang Kerdja. Selain “penerangan-penerangan”, BBI juga mengadakan “pertemoean dimana kaoem boeroeh laki-laki dan perempoean djoega isteri boeroeh, ditoenggoe kedatangannja”. Pertemuan umum lebih berupa ajang sosialisasi di antara rekan-rekan aktivis buruh di tingkat nasional. Lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dan lagu perjuangan buruh “Internasionale” diputar berturut-turut. Juga diperkenalkan lagu “Satoe Mei” sebagai lagu perjuangan buruh Indonesia dari kelompok progresif . Sementara itu di tingkat lokal, perayaan 1 Mei 1946 mengambil bentuk lain. Sebagaimana diberitakan, gerakan buruh di Pati mengadakan “rapat raksasa” yang berupa upacara (yang dimulai pukul 7 pagi) dan dilanjutkan dengan “arak-arakan setjara demonstrasi dengan membawa sembojan-sembojan”. Juga diadakan “gerakan pengoempoelan bahan pakaian, obat-obatan dan lain-lain oentoek menolong fakir miskin dan bekas roomoesha.” Keprihatinan gerakan buruh terhadap fakir miskin dan bekas rõmusha merupakan bentuk solidaritas yang dipusatkan bagi kesejahteraan masyarakat umum. Gerakan buruh (sudah) menyadari bahwa kesejahteraan rakyat seluruhnya adalah bagian dari cita-cita perjuangannya juga. Sebagai kelompok masyarakat yang “cukup” beruntung memiliki pekerjaan dan memperoleh upah atas pekerjaannya itu, gerakan buruh melakukan kerja-kerja konkret tidak hanya bagi dirinya sendiri, tapi bagi kaum rendahan keseluruhan. Kerja konkret ini didasarkan pada fakta bahwa bahan makanan pada masa-masa awal kemerdekaan sangatlah sulit didapat – dan harga beras di tanah Jawa melonjak drastis dalam masa kurun 1946-1947, sehingga beberapa serikat buruh menuntut pembayaran upah berupa beras. Dengan demikian, jelaslah bahwa bagi gerakan buruh Indonesia perayaan 1 Mei bukan semata-mata merupakan euforia sukacita perayaan kemenangan kelompok buruh atas pencapaian-pencapaiannya secara eksklusif, namun ekspresi keprihatinan yang bertujuan mendorong keadilan sosial bagi masyarakat umum. Ini adalah salah butir penting perayaan 1 Mei 1946, yang bisa kita simpulkan. Lagu “Satoe Mei” yang dijadikan lagu utama perjuangan buruh tahun 1946. Sumber: Boeroeh, 29 April 1946. Perpustakaan Nasional, Jakarta. Foto kiri: Bung Karno berpidato di muka massa buruh di alun-alun Yogyakarta. Foto kanan: Lagu 1 Mei yang mulai dinyanyikan sejak tahun 1946
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.