Jumat, 03 Juni 2011

INDIA DAN CINA SEGERA MENJADI PUSAT DUNIA BARU PASCA AMERIKA ? BAGAIMANA DENGAN INDONESIA

INDIA DAN CINA SEGERA MENJADI PUSAT DUNIA BARU PASCA AMERIKA
Oleh: Endi Haryono *)
DI BALIK politik internasional yang berkecamuk, kacau dan hingar bingar sepanjang awal abad 21 dengan peristiwa-peristiwa tragis seperti pembomanWorld Trade Center, perang Afghanistan, perang Irak, dan perang saudara di Palestina, perekonomian dunia terus tumbuh dengan pesat dan melahirkan kekuatan-kekuatan ekonomi baru negara-negara yang berjaya dalam globalisasi. Uniknya, justru di tengah ekonomi dunia yang tumbuh pesat tersebut, demikian Fareed, Amerika Serikat memasuki masa-masa kritis yang akan mengakhiri supremasi ekonomi, politik, dan budaya yang lebih setengah abad disandangnya. AS, justru ketika sedang memikul status adidaya tunggal, bakal segera kehilangan posisi sebagai kiblat ekonomi, politik dan budaya dunia di era globalisasi ini, menyisakan hanya sebuah supremasi militer yang tak lama lagi juga akan menjadi tidak relevan.
AS sedang merosot. Kondisi AS barangkali bisa disamakan dengan Inggris yang mengalami kebangkrutan ekonomi, politik, dan sosial di akhir Perang Dunia II atau bahkan sama seperti Asia di abad 15 yang surut dari kejayaan karena perang saudara dan kemudian invasi kolonialisme Eropa. Kejatuhan Lehman Brothers pada akhir September 2008 adalah tanda terbaru dari kemesorotan ekonomi AS. Sebelumnya, menyusul krisis subprime mortgage, beberapa perusahaan besar AS juga telah mengalami kebangkrutan, dan beberapa beralih ke pemilik modal Asia, misalnya Citigrup, Merril Lynch, Barclays, Morgan Stanley, dan Blakstone. Kepemimpinan Presiden George Bush (jr), penguasa Gedung Putih paling kontroversial, turut memberikan kontribusi penting bagi percepatan lengsernya peran global AS, membuka jalan bagi apa yang oleh Fareed disebut sebagai Dunia Pasca Amerika (Post-American World). AS gagal dalam ekonomi global karena terlibat dalam perang dan perang, kebijakan paling menonjol dari Presiden Bush.
Fareed memang berbagi pandangan dengan banyak pengamat, dan terutama para pengritik Bush, tentang diagnosis bagi kemerosotan peran global AS tersebut.Kendati demikian, buku yang ditulisnya dan diresensi ini bukan semata menceritakan kemunduran AS, terutama pada hampir delapan tahun di bawah Bush. Buku ini, demikian Fareed menulis, lebih tentang kebangkitan negara-negara lain di luar AS. “Ini buku tentang transformasi-transformasi besar yang berlangsung di seluruh dunia yang, meskipun telah kerap didiskusikan, masih belum dipahami secara memadai,” lanjutnya. Negara-negara lain di luar AS tersebut, yang telah banyak disebut oleh para penulis sebelumnya, adalah Cina dan India pada lapis pertama; Brazil, Rusia, Turki, dan Afrika Selatan pada lapis kedua; dan pada lapis ketiga terdapat Kenya dan beberapa negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Sayangnya, Indonesia tidak masuk dalam deretan negara yang berjaya secara ekonomi sehingga tidak mendapatkan tempat penting dan bahasan yang memadai dalam Dunia Pasca Amerika.
Buku ini menunjukkan bahwa semua negara bisa meraih kejayaan ekonomi dan menang dalam globalisasi tanpa harus merugikan negara yang lain, bahkan dengan cara yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Memang, globalisasi sendiri membuka sekaligus peluang dan perangkap. Kejayaan ekonomi negara-negara dicapai dengan sikap terbuka untuk menerima dan mempelajari bangsa lain dan, pada saat bersamaan, mengenali keunggulan diri sendiri. Hanya dengan kejayaan ekonomi maka sebuah bangsa bisa mengejar ambisi yang lain untuk berjaya di bidang politik dan budaya.
Globalisasi hanya tampaknya menakutkan
Globalisasi membawa kesempatan dan hanya tampak luarnya saja yang menakutkan. Fareed berargumentasi, dunia tempat kita hidup ini – yang tampaknya sebuah dunia yang sangat berbahaya untuk hidup – sesungguhnya adalah sebuah dunia yang lebih aman ketimbang tahun 1970-an, 1980-an, atau awal 1990-an. “Saya tidak percaya bahwa perang telah menjadi usang atau semacam kebodohan. Naluri alami manusia masih tetap seperti apa adanya dan demikian pula politik internasional,” tulisnya (hal. 9). Argumentasinya didukung data-data tentang korban perang dari satu dekade ke dekade berikutnya, yang menunjukkan bahwa dunia saat ini jauh lebih aman untuk hidup ketimbang dunia pada dekade-dekade sebelumnya.
Pada dekade 2000-an, perang yang serius hanya terjadi di Afghanistan dan Irak menyusul aksi kekerasan terorisme berupa pemboman atas menara kembar World Trade Centre di New York. Selebihnya adalah konflik-konflik bersenjata terbatas dan aksi-aksi pemboman oleh banyak kelompok teroris dengan korban – yang kalau ditotal – jauh lebih kecil ketimbang korban perang, konflik, dan kekerasan pada dekade-dekade 1970-an dan 1980-an. Selain jumlahnya semakin sedikit dan korban jiwa lebih kecil, perang yang terjadi juga tidak membawa dampak instabilitas kawasan dan tidak mengganggu aktivitas ekonomi global. Fareed bahkan, mengutip profesor Havard Steven Pinker, berargumentasi “bahwa hari ini kita barangkali hidup di masa yang paling damai dalam keberadaan spesies kita.” (hal. 9).
Lantas, mengapa dunia yang menurut fakta-fakta obyektif sesungguhnya lebih aman tersebut justru dianggap oleh publik sebagai dunia yang lebih berbahaya, kacau, dan mengancam?
“Salah satu alasan terjadinya ketidaksesuaian (mismatch) antara realitas dan perasaan kita atas realitas tersebut barangkali karena, lebih dibandingkan dekade-dekade yang silam, kita mengalami sebuah revolusi teknologi informasi yang membawa kepada kita berita-berita dari seluruh dunia seketika, nyata, dan terus-menerus. Kedekatan gambaran-gambaran peristiwa dan intensitas berita-berita berkesinambungan 24 jam bersama-sama telah menghasilkan hiperbola yang konstan. Setiap gangguan cuaca adalah ‘badai abad ini’. Setiap bom yang meledak adalah breaking news. Sangat sulit untuk menaruh semua ini dalam konteks secara pas karena revolusi informasi demikian baru” tulis Fareed (hal. 9).
Bahkan hingga dekade 1990-an, beberapa perang dan konflik dengan korban jiwa besar banyak yang luput dari tayangan media dan televisi, tetapi saat ini bahkan berita-berita kurang penting seperti ledakan bom tanpa korban jiwa mendapatkan pemberitaan besar dan muncul berulang-ulang dalam berita televisi. Revolusi teknologi informasi menjadikan aksi kekerasan teroris dengan target sipil yang acak (yang sebelumnya telah ada dan bahkan lebih serius) demikian dominan dan tidak terlawankan. Revolusi teknologi informasi mengubah pemboman yang kurang siginifikan menjadi peristiwa terorisme yang penting. Pemberitaan demikian membuat orang yang menonton televisi berpikir ‘hal yang sama bisa terjadi pada saya’ setiap kali menyaksikan pemberitaan tentang tindakan terorisme atas sasaran-sasaran sipil.
Ekspansi ekonomi ketiga
Di balik pemberitaan terus-menerus oleh media massa (khususnya televisi) tentang dunia yang tidak aman dan mengancam, pergeseran yang fundamental telah berlangsung pada bidang ekonomi sebagai basis struktural tatanan global. Di seluruh penjuru dunia, ekonomi telah mengalahkan politik. Perekonomian global terus tumbuh (hal. 18) mengabaikan kondisi dan ‘resiko politik’ dalam dua dekade terakhir. Fareed menyebut pergeseran tersebut sebagai ‘ekspansi ketiga ekonomi global’ dan sejauh ini yang paling dahsyat dibandingkan ekspansi-ekspansi ekonomi global pada dua peristiwa sebelumnya. Ekspansi ekonomi global yang pertama, tahun 1890-an dan 1990-an, didorong oleh pergerakan kapital dari Eropa ke Dunia Baru (Amerika). Pada ekspansi ini, tiga negara industri berjaya menjadi kekuatan ekonomi dunia: AS, Jerman, dan Inggris. Ekspansi ekonomi global kedua, tahun 1950-an dan 1990-an, didorong oleh pergerakan kapital dari Amerika Serikat ke Eropa dan Asia Timur. Era ini melahirkan kekuatan-kekuatan ekonomi baru yang berjaya, yang paling menonjol Jepang dan dalam beberapa derajat tertentu Korea Selatan.
Sama seperti dua ekspansi ekonomi global sebelumnya, kapital memegang peran sentral. Ekspansi ekonomi global ketiga, yang sedang berlangsung saat ini, didorong oleh pergerakan kapital dari Barat (AS dan Uni Eropa) ke Asia dan berbagai belahan dunia yang lain. Sebagai hasil dari ekspansi ekonomi global ketiga, Fareed menulis, “antara tahun 1990 dan 2007 ekonomi global tumbuh dari US$ 22,8 trilyun menjadi US$53,3 trilyun, dan perdagangan global meningkat 133 persen”. (hal. 20). Namun, berbeda dengan dua ekspansi ekonomi global sebelumnya di mana negara-negara kekuatan ekonomi baru berjaya karena ekspor, negara-negara kekuatan ekonomi baru pada ekspansi ketiga juga berjaya karena ditopang oleh pasar domestiknya sendiri.bersambung ke

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.