JAKARTA - Kurikulum di Indonesia dinilai terlalu banyak menghafal, sehingga kurang memaksimalkan potensi siswa untuk berpikir analitis dan kritis.
Hal tersebut disampaikan oleh utusan Khusus untuk Masyarakat Muslim Amerika Farah Anwar Pandith saat diskusi mengenai kehidupan muslim saat Ramadan di Amerika bersama dua pelajar alumni pertukaran pelajar program Youth Exchange Program (YES), Selasa (9/8/2011).
Ketika ditanyakan mengenai kurikulim di Amerika oleh salah satu peserta, Pandith mengatakan, jika masih memakai kurikulum seperti itu akan memperlambat pikir siswa.
Sebaliknya di Amerika, lanjut Pandith, siswa malah tidak dituntut untuk mengingat dan menghafal. "Tidak ada menghafal di Amerika, siswa justru lebih banyak dilatih untuk berpikir kritis atas suatu materi," kata mantan Penasihat Senior Asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Eropa dan Eurasia itu.
Tidak hanya berpikir kritis, Pandith melanjutkan, tetapi juga harus berpikir analitis. Di Amerika, siswa bebas menentukan mata pelajaran mana yang mereka inginkan, "Tetapi sekolah tetap memberikan standar mata pelajaran untuk dipelajari," tuturnya.
"Satu hal yang mendasar tentang kurikulum di Amerika adalah siswa harus mengembalikan apa yang telah diajarkan oleh gurunya ke masyarakat. Kami menyebutnya community service. Untuk siswa tidak melakukan community service layaknya mahasiswa," ujar Pandith.
Pandith mengatakan, jika di Indonesia sudah memperkenalkan bahasa asing sejak taman kanak-kanak, lain hal di Amerika. "Di Amerika, siswa belajar bahasa asing sesuai keinginannya. Tetapi biasanya di SMA," Pandith mengimbuhkan. (rhs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.