TAK ADA KATA PUTUS ASA
Kenyataan hidup kadang datang menyengsarakan. Tapi haruskah kita putusa asa? Jika jawaban anda iya, maka mari belajar pada nara sumber di Kick Andy Hope kali ini.
Kisah pertama adalah tentang seorang anak berwajah manis dari Pandeglang, Ade Sri Wahyuni. Yuni, panggilan gadis itu, harus mengalami kelumpuhan sejak kelas 4 SD, setelah mengalami panas dan kejang-kejang. Kakinya tak lagi bisa difungsikan untuk berjalan. Di dalam rumah ia sering menggunakan lututnya sebagai alas kaki atau menggunakan kursi roda.
Gadis berusia 13 tahun ini, lahir sebagai anak ke-3 dari lima bersuadara di tengah keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya, Sayuti, adalah seorang pegawai sebuah bengkel di kawasan Anyer, Banten dan Ibunya, Sutihat, seorang ibu rumah tangga. Mereka tinggal di desa Pabuaran, kecamatan Majasari, Pandeglang Banten. Sebuah wilayah pedesaan yang tidak memungkinkan bagi Yuni untuk melakukan mobilitas dengan kursi roda di luar rumah.
Dalam kondisi seperti itu, Yuni memiliki anugrah yang teramat besar lewat dua sahabatnya Melayanti dan Dina. Karena kedua sahabatnya itulah Yuni bisa terus semangat dan bersekolah. Melayanti dan Dina secara bergantian selalu menggendong Yuni saat berangkat atau pulang sekolah, tanpa pamrih. “Saya merasa kasian kalo Yuni gak sekolah,” ujar Mela saat ditanya alasannya mau menggendong.
Inilah sebuah persabahatan sejati yang sudah langka di zaman ini dan ditunjukan lewat kemurnian hati tiga gadis remaja di Pandeglang. Selama dua tahun, tepatnya dari kelas 4 sampai kelas 6 SD, Yuni mendapat bantuan dan perhatian penuh dari dua temannya itu.
Karena kondisinya itu, Yuni mengaku kadang suka diejek atau diolok-olok oleh murid-murid lain di sekolahnya, SD Karaton IV, Pandeglang. Meski sering sedih, katanya, tapi ia terus berusaha kuat untuk terus bersemangat. Terutama semangat untuk bersekolah dan mengejar cita-cita. Dan salah satu yang selalu membuat Yuni semangat adalah untaian kata dalam lirik lagu kesukaanya “Senyum dan Semangat”, milik grup boy band favoritnya, Sm*sh.
Dengan semangatnya itu pula, Yuni yang memiliki intelektual bagus itu, pernah menjadi juara saat mengikuti perlombaan olimpiade MIPA, tingkat provinsi Banten.
Ketika Kick Andy Hope menemui Yuni, ia baru saja menerima kelulusannya dari Sekolah Dasar, dan siap menempuh pendidikannya di tingkat SMP. Orang tuanya yang memiliki ekonomi paspasan sempat menyampaikan kebingungan tentang kelanjutan sekolah Yuni, terlebih karena Yuni memiliki keterbatasan secara fisik juga.
Meski keterbatasan sering dianggap menjadi hambatan, tapi toh Yuni bias melewatinya. Bahkan di SMP Pembina, sekolah barunya sekarang, Yuni sudah menorehkan prestasi sebagai juara I olimpiade MIPA tingkat Provinsi Banten dan bersiap-siap mengikuti kompetisi tingkat nasional.
Keterbatasan, kenyataan hidup yang pahit, memang hadir untuk menguji kekuatan. Dan Yuni sudah menunjukkan pada kita untuk menghapus kata putus asa demi masa depan yang lebih bermakna.
Hal seperti itu juga yang dialami oleh sosok pemuda asal bandung Deradjat Ginandjar Koesmayadi, alias Ginan. Karena sebuah kesalahan di masa lalu terjerumus ke dunia narkoba, maka ia harus menerima sebuah kenyataan pahit bahwa ia terinfeksi virus HIV positif.
Kenyataan pahit itu ia terima di tahun 2000, beberapa waktu setelah ia memiliki kesadaran untuk berhenti menjadi pecandu narkotika, psikotropika, dan zat aditif atau NAPZA. Ginan mengaku sempat depresi, Ginan sadar ia masih memiliki masa depan dan pantang berputus asa.
Pria kelahiran 13 Juli 1980 ini pelan-pelan menata hidupnya kembali, menyelesaikan kuliahnya di sebuah universitas negeri dan kemudian mendedikasikan hidupnya untuk berbagi dengan sesama.
Tahun 2003 Ginan bersama 4 orang temannya yang mantan pecandu narkoba membuat sebuah komunitas bernama Rumah Cemara. Sebagai orang-orang yang merasa sering termarjinalkan, mereka membangun Rumah Cemara dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS dan pecandu narkotika, psikotropika, dan zat aditif atau napza di Indonesia. Visi lebih jauhnya rumah cemara memimpikan indonesia bebas dari diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS dan pengguna narkoba di Indonesia.
Khusus untuk untuk mereka yang masih memakai dan kecanduan napza organisasi ini memiliki program rehabilitasi di pusat perawatan Rumah Cemara. Sampai desember 2010, pusat perawatan rumah cemara sudah merehabilitasi sekitar 398 pasien atau yang mereka sebut sebagai residen.
Rumah cemara memiliki sekita staf yang hampir seluruhnya mantan pecandu dan 85% diantaranya adalah orang dengan HIV/AIDS. Namun demikian, kita harus acungi jempol atas kerja nyata mereka.
Keseriusan mereka untuk bersama-sama meningkatkan kualitas hidup adalah dengan melihat upaya-upaya nyata lainnya yang mereka lakukan selama ini. Seperti membangun jaringan untuk menjalankan manajemen kasus-kasu HIV/AIDS, bekerja sama dengan rumah sakit, Dinas Kesehatan. Dinas Sosial, Palang Merah Indonesia, Lembaga Swadaya masyarakat lainya.
Secara rutin mereka juga menjangkau masyarakat yang beresiko tinggi maupun masyarakat umum. Mereka mendistribusikan ribuan jarum steril dan kondom gratis, untuk meminimalisir penyebaran virus HIV/AIDS.
Secara sistematis mereka juga membuat sistem konseling dan membagi informasi tentang efek negatif dari narkoba dengan lembaga-lembaga lain melalui kampanye-kampanye atau seminar. Rumah Cemara juga memiliki sebuah klinik keliling yang menyediakan layanan kesehatan dasar, bagi masyarakat kurang mampu atau di daerah-daerah terpencil.
Pada intinya, Rumah Cemara terus berupaya untuk eksis di tengah masyarakat, dengan nilai-nilai kebaikan yang mereka edarkan, hingga tercipta hubungan sosial yang baik antara orang dengan HIV/AIDS, mantan pecandu, dan masyarakat.
Dan satu hal yang mereka lalukan untuk benar-benar mewujudkan penghapusan diskriminasi itu adalah dengan bermain sepak bola. Ya, melalui olahraga yang dianggap merakyat ini, Rumah Cemara yakin bahwa mereka bisa menciptakan hubungan yang baik dengan masyarakat umum.
Konsep untuk menjadikan bola sebagai media komunikasi antara penyandang HIV/AIDS, mantan pecandu dengan masyarakat ini telah mereka tuangkan dalam sebuah ide tertulis yang kemudian meraih prestasi sebagai juara Dunia dalam kompetisi NIKE-ASHOKA Change Makers. Konsep mereka yang bertema: “changing lives trough football” mengalahkan hampir 300 aplikasi konsep lain dari 60 negara di dunia.
Tak hanya di atas kertas, Tim sepak bola Rumah Cemara juga memiliki banyak prestasi di bidang sepak bola. Meski awalnya memilih sepakbola untuk meningkatkan kualitas hidup para penyandang HIV/AIDS dan mantan pecandu Napza, tapi Rumah Cemara kemudian bisa menjuarai kompetisi sepakbola BNN Cup tingkat nasional di tahun 2009 dan 2010.
Tahun 2010, Rumah Cemara ditunjuk untuk mengorganisir sekaligus mewakili indonesia untuk berpartisipasi pada sebuah turnamen yang sarat makna pemberdayaan sosial yakni “Homeless World Cup di Rio de Janeiro, Brazil, namun karena masalah dana, mereka gagal mengikuti turnamen tersebut.
Tahun 2011 ini mereka kembali di undang, di kompetisi Homeless World Cup di Paris, Perancis, namun seperti tahun sebelumnya, mereka mengaku masih memiliki hambatan dalam soal dana. Namun mereka tak putus asa, untuk terus menggalang dana melalui banyak acara.
Inilah kisah-kisah inspiratif di Kick Andy Hope kali ini, semoga bisa menjadi cermin bagi kita untuk belajar memaknai hidup tanpa kata putus asa. Selamat menyaksikan.
Sumber By :Kickandy.com
Kisah pertama adalah tentang seorang anak berwajah manis dari Pandeglang, Ade Sri Wahyuni. Yuni, panggilan gadis itu, harus mengalami kelumpuhan sejak kelas 4 SD, setelah mengalami panas dan kejang-kejang. Kakinya tak lagi bisa difungsikan untuk berjalan. Di dalam rumah ia sering menggunakan lututnya sebagai alas kaki atau menggunakan kursi roda.
Gadis berusia 13 tahun ini, lahir sebagai anak ke-3 dari lima bersuadara di tengah keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya, Sayuti, adalah seorang pegawai sebuah bengkel di kawasan Anyer, Banten dan Ibunya, Sutihat, seorang ibu rumah tangga. Mereka tinggal di desa Pabuaran, kecamatan Majasari, Pandeglang Banten. Sebuah wilayah pedesaan yang tidak memungkinkan bagi Yuni untuk melakukan mobilitas dengan kursi roda di luar rumah.
Dalam kondisi seperti itu, Yuni memiliki anugrah yang teramat besar lewat dua sahabatnya Melayanti dan Dina. Karena kedua sahabatnya itulah Yuni bisa terus semangat dan bersekolah. Melayanti dan Dina secara bergantian selalu menggendong Yuni saat berangkat atau pulang sekolah, tanpa pamrih. “Saya merasa kasian kalo Yuni gak sekolah,” ujar Mela saat ditanya alasannya mau menggendong.
Inilah sebuah persabahatan sejati yang sudah langka di zaman ini dan ditunjukan lewat kemurnian hati tiga gadis remaja di Pandeglang. Selama dua tahun, tepatnya dari kelas 4 sampai kelas 6 SD, Yuni mendapat bantuan dan perhatian penuh dari dua temannya itu.
Karena kondisinya itu, Yuni mengaku kadang suka diejek atau diolok-olok oleh murid-murid lain di sekolahnya, SD Karaton IV, Pandeglang. Meski sering sedih, katanya, tapi ia terus berusaha kuat untuk terus bersemangat. Terutama semangat untuk bersekolah dan mengejar cita-cita. Dan salah satu yang selalu membuat Yuni semangat adalah untaian kata dalam lirik lagu kesukaanya “Senyum dan Semangat”, milik grup boy band favoritnya, Sm*sh.
Dengan semangatnya itu pula, Yuni yang memiliki intelektual bagus itu, pernah menjadi juara saat mengikuti perlombaan olimpiade MIPA, tingkat provinsi Banten.
Ketika Kick Andy Hope menemui Yuni, ia baru saja menerima kelulusannya dari Sekolah Dasar, dan siap menempuh pendidikannya di tingkat SMP. Orang tuanya yang memiliki ekonomi paspasan sempat menyampaikan kebingungan tentang kelanjutan sekolah Yuni, terlebih karena Yuni memiliki keterbatasan secara fisik juga.
Meski keterbatasan sering dianggap menjadi hambatan, tapi toh Yuni bias melewatinya. Bahkan di SMP Pembina, sekolah barunya sekarang, Yuni sudah menorehkan prestasi sebagai juara I olimpiade MIPA tingkat Provinsi Banten dan bersiap-siap mengikuti kompetisi tingkat nasional.
Keterbatasan, kenyataan hidup yang pahit, memang hadir untuk menguji kekuatan. Dan Yuni sudah menunjukkan pada kita untuk menghapus kata putus asa demi masa depan yang lebih bermakna.
Hal seperti itu juga yang dialami oleh sosok pemuda asal bandung Deradjat Ginandjar Koesmayadi, alias Ginan. Karena sebuah kesalahan di masa lalu terjerumus ke dunia narkoba, maka ia harus menerima sebuah kenyataan pahit bahwa ia terinfeksi virus HIV positif.
Kenyataan pahit itu ia terima di tahun 2000, beberapa waktu setelah ia memiliki kesadaran untuk berhenti menjadi pecandu narkotika, psikotropika, dan zat aditif atau NAPZA. Ginan mengaku sempat depresi, Ginan sadar ia masih memiliki masa depan dan pantang berputus asa.
Pria kelahiran 13 Juli 1980 ini pelan-pelan menata hidupnya kembali, menyelesaikan kuliahnya di sebuah universitas negeri dan kemudian mendedikasikan hidupnya untuk berbagi dengan sesama.
Tahun 2003 Ginan bersama 4 orang temannya yang mantan pecandu narkoba membuat sebuah komunitas bernama Rumah Cemara. Sebagai orang-orang yang merasa sering termarjinalkan, mereka membangun Rumah Cemara dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS dan pecandu narkotika, psikotropika, dan zat aditif atau napza di Indonesia. Visi lebih jauhnya rumah cemara memimpikan indonesia bebas dari diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS dan pengguna narkoba di Indonesia.
Khusus untuk untuk mereka yang masih memakai dan kecanduan napza organisasi ini memiliki program rehabilitasi di pusat perawatan Rumah Cemara. Sampai desember 2010, pusat perawatan rumah cemara sudah merehabilitasi sekitar 398 pasien atau yang mereka sebut sebagai residen.
Rumah cemara memiliki sekita staf yang hampir seluruhnya mantan pecandu dan 85% diantaranya adalah orang dengan HIV/AIDS. Namun demikian, kita harus acungi jempol atas kerja nyata mereka.
Keseriusan mereka untuk bersama-sama meningkatkan kualitas hidup adalah dengan melihat upaya-upaya nyata lainnya yang mereka lakukan selama ini. Seperti membangun jaringan untuk menjalankan manajemen kasus-kasu HIV/AIDS, bekerja sama dengan rumah sakit, Dinas Kesehatan. Dinas Sosial, Palang Merah Indonesia, Lembaga Swadaya masyarakat lainya.
Secara rutin mereka juga menjangkau masyarakat yang beresiko tinggi maupun masyarakat umum. Mereka mendistribusikan ribuan jarum steril dan kondom gratis, untuk meminimalisir penyebaran virus HIV/AIDS.
Secara sistematis mereka juga membuat sistem konseling dan membagi informasi tentang efek negatif dari narkoba dengan lembaga-lembaga lain melalui kampanye-kampanye atau seminar. Rumah Cemara juga memiliki sebuah klinik keliling yang menyediakan layanan kesehatan dasar, bagi masyarakat kurang mampu atau di daerah-daerah terpencil.
Pada intinya, Rumah Cemara terus berupaya untuk eksis di tengah masyarakat, dengan nilai-nilai kebaikan yang mereka edarkan, hingga tercipta hubungan sosial yang baik antara orang dengan HIV/AIDS, mantan pecandu, dan masyarakat.
Dan satu hal yang mereka lalukan untuk benar-benar mewujudkan penghapusan diskriminasi itu adalah dengan bermain sepak bola. Ya, melalui olahraga yang dianggap merakyat ini, Rumah Cemara yakin bahwa mereka bisa menciptakan hubungan yang baik dengan masyarakat umum.
Konsep untuk menjadikan bola sebagai media komunikasi antara penyandang HIV/AIDS, mantan pecandu dengan masyarakat ini telah mereka tuangkan dalam sebuah ide tertulis yang kemudian meraih prestasi sebagai juara Dunia dalam kompetisi NIKE-ASHOKA Change Makers. Konsep mereka yang bertema: “changing lives trough football” mengalahkan hampir 300 aplikasi konsep lain dari 60 negara di dunia.
Tak hanya di atas kertas, Tim sepak bola Rumah Cemara juga memiliki banyak prestasi di bidang sepak bola. Meski awalnya memilih sepakbola untuk meningkatkan kualitas hidup para penyandang HIV/AIDS dan mantan pecandu Napza, tapi Rumah Cemara kemudian bisa menjuarai kompetisi sepakbola BNN Cup tingkat nasional di tahun 2009 dan 2010.
Tahun 2010, Rumah Cemara ditunjuk untuk mengorganisir sekaligus mewakili indonesia untuk berpartisipasi pada sebuah turnamen yang sarat makna pemberdayaan sosial yakni “Homeless World Cup di Rio de Janeiro, Brazil, namun karena masalah dana, mereka gagal mengikuti turnamen tersebut.
Tahun 2011 ini mereka kembali di undang, di kompetisi Homeless World Cup di Paris, Perancis, namun seperti tahun sebelumnya, mereka mengaku masih memiliki hambatan dalam soal dana. Namun mereka tak putus asa, untuk terus menggalang dana melalui banyak acara.
Inilah kisah-kisah inspiratif di Kick Andy Hope kali ini, semoga bisa menjadi cermin bagi kita untuk belajar memaknai hidup tanpa kata putus asa. Selamat menyaksikan.
Sumber By :Kickandy.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.