Wajah Ismael Hassan (84) berseri-seri. Pada Sabtu (18/12), di Kompleks Yayasan Asrama dan Pendidikan Islam Al-Azhar, Rawamangun, Jakarta Timur, ia sibuk menerima ucapan selamat dari koleganya dan orang-orang lain yang menghadiri peringatan 62 tahun Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Memakai setelan jas berwarna gelap, ia juga kelihatan tangkas melayani permintaan sejumlah orang yang mengajaknya berfoto bersama. Ismael adalah orang yang paham bagaimana para tokoh Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) berjuang di hutan-hutan belantara di Sumatera Barat. Bersama tokoh PDRI, ia ikut berpindah-pindah tempat hunian guna menghindari kejaran Belanda.
Ismael juga mengetahui persis alotnya perundingan Ketua PDRI Sjafruddin Prawiranegara dengan delegasi utusan Soekarno-Hatta pada fase akhir PDRI. Perundingan itu bertujuan melunakkan hati Sjafruddin agar mau datang ke Yogyakarta, mengembalikan mandat pemerintahan kepada Soekarno-Hatta. Dalam perundingan di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, itu, Ismael bertindak sebagai notulis. Di sela-sela makan siang seusai acara peringatan, Ismael mengatakan, PDRI merupakan salah satu mata rantai eksistensi Republik Indonesia. Berkat PDRI, pemerintahan Republik Indonesia memiliki kesinambungan. PDRI dibentuk atas perintah Presiden Soekarno-Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 19 Desember 1948. Serbuan Belanda ke Ibu Kota Yogyakarta membuat kedudukan Dwitunggal itu berada di ujung tanduk. Untuk menjaga kesinambungan pemerintahan, dibentuklah PDRI yang berkedudukan di Bukittinggi, Sumatera Barat. Tidak lama setelah memberikan mandat kepada Sjafruddin sebagai Ketua PDRI, Soekarno-Hatta ditangkap pasukan Belanda. Selain Sjafruddin, yang menjabat sebagai Menteri Kemakmuran dalam pemerintahan Soekarno-Hatta, ada delapan orang lain duduk dalam PDRI. Mereka antara lain Jenderal Sudirman sebagai Panglima Angkatan Perang PDRI dan Mr AA Maramis yang menjabat Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India. PDRI berakhir pada 13 Juli 1949. Selama tujuh bulan melaksanakan mandat, tokoh PDRI di Tanah Air berpindah-pindah tempat hunian guna menghindari kejaran pasukan Belanda. Seminggu sebelum penyerahan kembali mandat, delegasi utusan Soekarno-Hatta yang antara lain terdiri dari Moh Natsir dan J Leimena berunding alot dengan Sjafruddin. ”Waktu itu, Sjafruddin mempertanyakan mengapa PDRI tidak diajak dalam perundingan Roem-Royen (Mei 1949),” ujar Ismael. Hal lain yang dipertanyakan oleh Sjafruddin adalah isi perjanjian Roem-Royen yang melemahkan republik. ”Keberatan utama Sjafruddin sebenarnya terletak pada perjanjian Roem-Royen itu,” ujar Ismael. Namun, Sjafruddin akhirnya bersedia mengembalikan mandat pemerintahan kepada Soekarno-Hatta pada 13 Juli 1949. Sjafruddin dan tokoh PDRI lainnya mendarat di lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta, pada 10 Juli 1949.
Kurang dikenal
Fragmen PDRI dalam bentang sejarah perjuangan Indonesia mungkin kurang begitu dikenal. ”Hampir tidak diingat lagi. Peran mereka tidak mendapat sorotan,” kata sejarawan Hilmar Farid dalam kesempatan terpisah. Baru pada tahun 2006, tanggal terbentuknya PDRI, yakni 19 Desember, dinyatakan oleh Pemerintah RI sebagai Hari Bela Negara. Ini merupakan pengakuan luas pemerintah akan peran PDRI setelah ditunggu- tunggu selama berpuluh-puluh tahun oleh mereka yang pernah aktif dalam PDRI. Mantan Wakil ketua MPR AM Fatwa yang hadir dalam acara peringatan 62 Tahun PDRI itu menegaskan, apa yang dilakukan para tokoh PDRI patut dicontoh oleh generasi politisi ataupun pejabat sekarang. ”Tokoh PDRI berjuang dengan tulus tanpa mengharapkan apa-apa demi negara,” jelasnya.
Bagaimanapun, menurut Hilmar, Sjafruddin akhirnya terlempar dari pusaran kekuasaan di pusat. Lantas, mantan Menteri Keuangan dan Wakil Perdana Menteri ini memiliki sikap yang berseberangan terhadap pemerintah pusat dengan bergabung bersama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958. Kekuatan PRRI lantas dipukul pemerintah pusat dengan kekuatan militer. Pemerintah pusat melihat PRRI sebagai pemberontakan, tetapi beberapa pendapat menyebut PRRI sebenarnya merupakan ekspresi ketidakpuasan daerah pada pusat.
Peringatan sederhana
Terlepas dari peranan Sjafruddin dalam PRRI yang dianggap sebagai bentuk pembangkangan, PDRI perlu mendapat sorotan lebih layak dalam panggung sejarah Indonesia. Pada periode PDRI ada sejumlah orang yang dengan gigih, tanpa mengharapkan pamrih apa pun, berlarian di hutan, bukan sekadar untuk menyelamatkan diri sendiri, melainkan untuk memastikan bahwa pemerintahan RI tetap eksis di tengah tekanan Belanda. Peringatan 62 tahun PDRI sendiri berlangsung bersahaja di Kompleks Yayasan Asrama dan Pendidikan Islam (YAPI) Al-Azhar, Rawamangun, Jaktim. Setiap tahun, peringatan PDRI memang selalu dilakukan di sana, dengan diprakarsai oleh Ismael, ketua sekaligus salah satu pendiri YAPI. Tidak ada pejabat negara atau politisi beken yang hadir. Namun, mereka semua dengan tulus mengenang orang- orang yang pernah memberi warna cukup penting dalam sejarah Indonesia itu. (A TOMY TRINUGROHO)
Tulisan untuk memperingati peristiwa jatuhnya kota Yogya 19 Desember 1948, hendaknya juga untuk mengangkat sejarah Perintah Kilat Jenderal Soedirman. Itulah peristiwa apa yang kita kenal sebagai "Perang Rakyat Semesta". PDRI baru berdiri tanggal 22 Desember 1948. Sesungguhnya semua ini berada dalam koridor Sejarah Nasional dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Yaitu 1. Yogya diserang, Pak Dirman memiimpin gerilya yang berlaku untuk seluruh tanah air. 2. Surat mandat dikirim Hatta, satu untuk Sjafroedin di Bukit Tinggi dan satu lagi untuk Maramis di New Delhi. 3. Presiden, wakil Presiden/Perdana Menteri dan sejumlah Menteri ditawan di Sumatera. Meskipun sebagai tawanan, nyatanya Belanda, BFO, KTN, Sri Sultan HB IX datang ke Bangka untuk bertemu dengan para pemimpin bangsa ini. 4. Palar selaku wakil PDRI di PBB melakukan perjuangan diplomasi didunia internasional. Dan jangan lupa peranan para pemimpin Aceh dibawah Panglima Daud Bereh yang berjuang demi tegak berdirinya PDRI. Aceh tidak pernah tersentuh oleh tangan musuh. Kalau mau saat itu Aceh bisa merdeka atau melepaskan diri....tapi itu tidak dilakukan demi NKRI.....Bukan Main. Referensi "Modal Perjuangan Kemerdekaan" (Perjuangan Kemerdekaan di Aceh 1947-1948) diterbitkan oleh Lembaga Sejarah Aceh 1990, penulis TA Talsya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.