Kamis, 22/09/2011 09:29 WIB
Janda Rawagede Kalahkan Belanda Kemenangan Melawan Lupa dari Rawagede
Deden Gunawan - detik News
Jakarta - Sejarah adalah perjuangan melawan lupa. Dan Rawagede menjadi bukti kemenangan perjuangan itu. Bagi Belanda, pembantaian tentaranya yang menewaskan ratusan orang di Rawagede, Karawang, Jawa Barat itu hanyalah cerita yang sudah kadaluwarsa. Pemerintah Indonesia juga kurang peduli dengan pembantaian biadab pada 9 Desember 1947 itu. Nama Rawagede pun sekarang sudah tidak ada dan diganti menjadi Balonsari. Saksi pembantaian itu hanya tersisa segelintir orang dan sudah sangat sepuh. Tapi mereka yang tersisa tidak mau menyerah untuk terus menggugat keadilan. Mereka tidak mau kejahatan HAM di Rawagede dilupakan. Akhirnya, setelah 64 tahun pembantaian berlalu, keadilan berpihak pada mereka. Rabu, 14 September 2011, Pengadilan Den Haag menerbitkan vonis yang memenangkan tuntutan 9 janda dan korban pembantaian di Rawagede. Dilansir BBC, pengadilan di Den Haag menyatakan pemerintah Belanda bertanggung jawab atas pembantaian yang dilakukan tentaranya di Rawagede. "Alhamdulillah," kata Wasiah, salah satu janda dari korban pembantaian Rawagede yang ikut menggugat, menanggapi kemenangan gugatan itu. Gugatan para korban pembantaian Rawagede sejatinya bermula dari buku berjudul 'Riwayat Singkat Makam Pahlawan Rawagede'. Buku itu ditulis Sukarman, ahli waris korban, dan diterbitkan pada 1991. Ayah Sukarman, Sukardi adalah pejuang Indonesia yang lolos dari pembantaian Rawagede. Sementara ibunya, Cawi, adalah janda korban pembantaian itu. Sukarman menulis buku itu karena tidak ingin pengorbanan besar rakyat Rawagede demi kemerdekaan itu dilupakan begitu saja. Ia tidak mau peristiwa itu 'hanya' dikenang melalui bait puisi "Karawang-Bekasi" karya Chairil Anwar. "Peristiwa Rawagede itu sangat memilukan, saya ingin menceritakan secara gamblang apa yang sebenarnya terjadi di Rawagede pada 9 Desember 1947," ujar mantan Kepala Desa Rawagede itu, saat ditemui detik+ di rumahnya. 'Riwayat Makam Pahlawan Rawagede' berisi keterangan istri-istri para korban yang masih hidup. Saat itu, tahun 1991 waktu buku dibuat, jumlah janda korban Rawagede masih 50 orang. Kini mereka tinggal 6 orang yang masih hidup, salah satunya Cawi, ibunda Sukarman. Suami Cawi, Bendol, dibantai pasukan Belanda di Rawagede. Tiga tahun setelah pembantaian itu, Cawi menikah dengan Sukardi, pejuang Indonesia yang lolos dari pembantaian sadis itu. Dari pernikahan itulah lahir Sukarman. "Saya tidak lagi dendam," kata Cawi mengenang pembantaian itu. Dari kedua orangtuanya itulah, Sukarman mendapatkan cerita yang utuh pembantaian Rawagede. Tanpa disangka buku Sukarman menyebar ke Belanda karena dibawa pengurus Badan Kontak Legium Veteran RI Alif Jumhur. Di Belanda, buku itu menyedot perhatian akademisi, politisi dan wartawan hingga kemudian dicetak ulang. Orang-orang Belanda sangat kaget dengan kisah pembantaian di buku itu. Yang mereka tahu Indonesia adalah bagian dari Kerajaan Hindia Belanda sehingga tidak ada penjajahan apalagi pembantaian. Beberapa bulan setelah buku itu beredar, sejumlah akademisi dan wartawan Belanda datang ke Rawagede. Mereka berupaya menggali peristiwa yang sebenarnya di desa yang jaraknya 20 kilometer dari Kota Karawang tersebut. "Setiap bulan ada saja wartawan atau peneliti belanda yang datang ke Rawagede sejak 1994," kata Sukarman. Di Indonesia sendiri, tampaknya buku itu hanya menarik perhatian para veteran termasuk Pangdam Siliwangi saat itu, Mayjen TNI Tayo Tarmadi. Begitu membaca buku itu, Tayo langsung mendatangi Sukarman. Tayo meminta Sukarman untuk mengusulkan pendirian Yayasan Rawagede dan mengumpulkan kuburan para korban dalam satu lokasi berikut membangun monumen. Akhirnya, pada 1995, Bupati Karawang saat itu, Mangkuwijaya, menyetujui penyatuan makam jenazah korban Rawagede. Sang Bupati dan Pangdam Siliwangi mengumpulkan pengusaha sehingga terkumpul sumbangan Rp 400 juta untuk membangun pemakaman yang layak bagi 431 jenazah korban Rawagede. Pembangunan Monumen Rawagede rampung pada Oktober 1996. Setelah itu setiap 9 Desember, Muspida Karawang mengadakan upacara di monument itu. Begitu monumen berdiri, sejumlah veteran dan LSM HAM Belanda menyarankan Sukarman dan ahli waris menggugat pemerintah Belanda untuk mendapatkan ganti rugi atas pembantaian itu. Pada 16 Agustus 2007, para janda korban dan ahli waris termasuk saksi mata pembantaian itu Sya'ih bin Sakam, melakukan demo di kedubes Belanda di Jakarta. Tapi aksi itu tidak direspons. Bukan hanya Belanda yang tidak merespon, pemerintah Indonesia juga tidak peduli. Karena tidak direspons, para korban dan ahli waris lantas menggugat secara hukum. Gugatan yang dilakukan bersama Komite Utang dan Kehormatan Belanda, yang dipimpin Batara Hutagalung itu dilayangkan pada Oktober 2008 di Belanda. Sejauh itu, pemerintah Indonesia tidak juga menunjukan dukungan. "Pemerintah tidak berbuat apa-apa. Mungkin merasa tidak enak sama Belanda," kata Sukarman. Untungnya akademisi, wartawan, serta anggota parlemen Belanda dari partai oposisi mendukung gugatan itu. Bahkan 19 September 2008, dua anggota parlemen Belanda, Harry van Bommel dari Partai Sosialis dan Joel Voordewind dari Partai Uni Kristen (ChristenUnie) bertemu para korban termasuk Wasiah dan Sya'ih di Jakarta. Pada 2010, Sukarman dan Sya'ih datang ke Belanda untuk memberikan kesaksian. Kemudian awal 2011, Sukarman datang lagi menghadap pengadilan Belanda. Melihat jalannya persidangan, awalnya Sukarman pesimistis gugatan bakal menang. Itu sebabnya Sukarman dan kuasa hukum penggugat mempersiapkan banding. Tapi berbarengan proses sidang, ternyata media massa di Belanda mengulas keterangan sejumlah veteran tentara Belanda (Veteran LMD). Media Belanda menulis keterangan 5 orang bekas tentara Belanda yang pernah bertugas di Jakarta. Mereka mengakui pernah melakukan penembakan di Rawagede. Bahkan kelima veteran ini siap memberikan ganti rugi melalui koceknya sendiri sebagai kompensasi dari kebrutalan mereka saat bertugas di Rawagede. "Awalnya pemerintah Belanda ngotot kalau kasus ini sudah kadaluwarsa. Tapi karena kesaksian 5 pelaku pembantaian itu, majelis hakim mungkin jadi berubah pikiran," duga Sukarman.
Foto: Sukarman mantan lurah Balongsari yang ketua Yayasan Rawagede
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.