Jumat, 28 April 2006

PERTEMPURAN MAKASSAR 1950

PERTEMPURAN MAKASSAR 1950
Usai Penyerahan Kedaulatan (Souvereniteit Overdracht) pada tanggal 27 Desember 1949, dalam negeri Republik Indonesia Serikat mulai bergelora. Serpihan ledakan bom waktu peninggalan Belanda mulai menunjukkan akibatnya. Pada umumnya serpihan tersebut mengisyaratkan tiga hal. Pertama, ketakutan antek tentara Belanda yang tergabung dalam KNIL, yang bertanya-tanya akan bagaimana nasib mereka setelah penyerahan kedaulatan tersebut. Kedua, terperangkapnya para pimpinan tentara yang jumlahnya cukup banyak dalam penentuan sikap dan ideologi mereka. Utamanya para pimpinan militer didikan dan binaan Belanda. Terahir, masih banyaknya terjadi dualisme kepemimpinan dalam kelompok ketentaraan Indonesia antara kelompok APRIS dengan kelompok pejoang gerilya. Walaupun sejak bulan Juni 1947 Pemerintah RI telah mengeluarkan kebijaksanaan bahwa segenap badan kelaskaran baik yang tergabung dalam biro perjoangan maupun yang lepas berada dalam satu wadah dan satu komando yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ketiga hal tersebut semakin mengental pada daerah yang masih kuat pengaruh “Belandanya”. Salah satu daerah dimaksud adalah wilayah Sulawesi Selatan. Tiga peristiwa di tahun 50 yang terjadi dikota Makassar dan wilayah Sulawesi Selatan memperlihatkan kekentalan tersebut. Peristiwa pertama terjadi pada tanggal 5 April 1950 yang terkenal sebagai peristiwa Andi Azis. Peristiwa kedua yang terjadi pada tanggal 15 Mei 1950 dan ketiga yang terjadi pada tanggal 5 Agustus 1950. Dalam ketiga peristiwa tersebut yang menjadi penyebabnya selalu permasalahan mengenai kegamangan tentara KNIL akan nasib mereka. Sedangkan 2 peristiwa terahir menjadi tolak ukur dari kegamangan tersebut. Menteri Pertahanan RIS, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam pertemuan pers mengatakan bahwa tidak heran dengan terjadinya peristiwa paling ahir pada tanggal 5 Agustus 1950 (Sin Po 8/8/50). Rentetan ketiga peristiwa di Makassar tersebut agaknya selalu bermula dari upaya-upaya para anggota KNIL (kemudian dilebur dalam KL) untuk mengacaukan kehidupan rakyat di Makassar sekaligus berupaya untuk memancing tentara APRIS memulai serangan kepada mereka. Tidak kalah ikut menentukan suasana panas dikota Makassar adalah persoalan tuntutan masyarakat untuk segera menuju negara kesatuan. Tentu saja gerakan rakyat ini tidak saja terjadi di Indonesia Timur, tapi juga di Jawa Timur, Pasundan, Sumatera Timur dan berbagai daerah lainnya. Pemerintah RIS dalam hal ini atau setidaknya banyak fihak dalam kabinet dan Parlemen sangat memberi angin menuju Negara Kesatuan.Rencana kedatangan tentara APRIS ke Makassar nampaknya terlalu dibesar-besarkan semata-mata karena rasa takut akan menguntungkan fihak pemerintah pusat (RIS). Oleh karena itu bukan tidak mungkin pemberontakan Andi Aziz adalah rekayasa politik fihak KNIL akibat provokasi tokoh-tokoh anti RIS dalam pemerintahan Negara Indonesia Timur. Andi Aziz sendiri diyakini banyak fihak adalah seorang anggota militer dengan pribadi yang baik. Namun dalam sekala kesatuan militer KNIL di Sulawesi Selatan dirinya lebih condong sebagai boneka. Tampak bahwa Kolonel Schotborg dan jakasa agung NIT Sumokil adalah pengendali utama kekuatan KNIL dikota Makassar. Dari hasil pemeriksaan Aziz dalam sidang militer yang digelar tiga tahun kemudian (1953), saksi mantan Presiden NIT Sukawati dan Let.Kol Mokoginta tidak banyak meringankan terdakwa yang pada ahirnya dihukum penjara selama 14 tahun. Dalam persidangan tersebut terdakwa mengaku bersalah, tidak akan naik appel tapi merencanakan minta grasi kepada Presiden. Ketika sedang berlangsungnya pemberontakan Andi Aziz di Makassar, untuk mengantisipasinya Pemerintah RIS di Jakarta telah membentuk pasukan gabungan Expedisi Indonesia Timur. Pasukan ini terdiri dari batalyon ADRIS dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur didukung oleh AURIS, ALRIS dan Kepolisian. Sebagai pimpinan Komando ditunjuk Kolonel A.E Kawilarang Panglima TT Sumatera Utara. Ketika pasukan besar ini sedang dipersiapkan keberangkatannya, telah lebih dahulu diberangkatkan batalyon Worang yang tiba di Sulawesi Selatan pada tanggal 11 April 1950. Meskipun Worang tidak dapat langsung mendarat di Makassar tapi di Jeneponto yang letaknya 100 km keselatan, rakyat menyambutnya dengan sukacita. Sebuah foto yang disiarkan majalah Merdeka terbitan 13 Mei 1950 menggambarkan hal tersebut. Terlihat 3 orang anggota tentara APRIS yang berjalan menuju kerumunan massa dimana dilatar belakang tampak spanduk bertuliskan “ SELAMAT DATANG TENTARA KITA”. Pertempuran besar memang tidak terjadi antara pasukan APRIS Worang dengan KNIL di Makassar bahkan Andi Aziz ahirnya mau menyerah guna memenuhi panggilan Pemerintah Pusat di Jakarta meskipun telah melampaui batas waktu 4 X 24 Jam untuk mendapat pengampunan. Menyerahnya Andi Azis kemungkinan besar karena kekuatan pendukung dibelakangnya sudah tidak ada lagi yaitu Sumokil yang sudah terbang ke Ambon via Menado dan Kolonel Schotborg yang siap dimutasi untuk pulang ke Belanda. Setelah Andi Aziz menyerah, banyak tentara dari bekas infantri KNIL yang tidak tahu lagi siapa pemimpin mereka dan bagaimana nasib mereka selanjutnya. Sementara untuk bergabung dengan APRIS belum ada ketentuan karena belum ada peraturan resmi yang akan membubarkan KNIL (KNIL bubar tgl 27 Juli 1950). Tak heran mereka kemudian memprovokasi rakyat dan kemudian memulai serangan terhadap pos-pos tentara APRIS. Menjelang pertempuran yang terjadi antara pasukan KNIL dengan pasukan APRIS pada tanggal 15 Mei 1950 bermula ketika banyak anggota KNIL menurunkan bendera merah putih disekitar kampemen tempat anggota KNIL berdiam. Peristiwa penurunan bendera Sang Saka merah Putih itu terjadi bersamaan degan tibanya Presiden RIS Soekarno dikota Makasasar yang memulai lawatannya ke Sulawesi. Setelah Merah Putih diturunkan berlanjut dengan coretan tembok rumah rakyat dan spanduk disekitar kampemen KNIL berisi tulisan yang memojokkan Negara Republik Indonesia Serikat. Peristiwa ini juga kemudian berkaitan dengan ditembaknya seorang Perwira APRIS oleh tentara KNIL. Peristiwa diatas memicu ketegangan yang memunculkan ketidak sabaran anggota APRIS terhadap tindakan dan ulah provokasi KNIL. Rakyat yang diprovokasi tidak sabar menunggu komando untuk menyerang KNIL. Pasukan pejoang gerilya dibawah batalyon Lipang Bajeng dan Harimau Indonesia telah mempersiapkan diri untuk hal tersebut. Sementara tentara KNIL sudah semakin mengeras upayanya untuk menghancurkan kekuatan APRIS untuk menguasai Makassar. Maka pada tanggal 15 Mei 1950 terjadilah pertempuran besar dikota Makassar. Pasukan KNIL menyerbu barak-barak APRIS, membakar rumah rakyat, menghancurkan rumah dan toko-toko didaerah pecinaan. Sekitar Makassar penuh dengan api, bau anyir darah dan berbagai desing senjata. Serangan KNIL ini memang sudah diwaspadai APRIS. Tentara APRIS kemudian membalas serangan dan bersamaan dengan itu pasukan pejoang gerilya dari Batalyon Lipang Bajeng dan Harimau Indonesia telah turun dari dua kota pangkalan mereka di Polobangkeng dan Pallangga yang terletak disekitar kota Makassar. Seketika suasana medan laga telah berubah. Pasukan APRIS bersama dua batalyon pejoang tersebut dan rakyat Makassar menyerang balik tentara KNIL. Dalam keadaan demikian inilah Kolonel AH Nasution selaku Kepala Staf ADRIS bersama dengan Kolonel Pereira selaku Wakil Kepala Staf KNIL tiba di Makassar. Kedua pucuk pimpinan tentara ini kemudian meninjau keadaan dan berunding. Pada tgl 18 Mei 1950 wakil dari APRIS yaitu Overste Sentot Iskandardinata dan Kapten Leo Lopolisa berunding dengan wakil dari KNIL yaitu Kolonel Scotborg, Overste Musch dan Overste Theyman yang disaksikan oleh Kolonel AH Nasution serta Kolonel AJA Pereira. Perundingan menghasilkan dua keputusan penting yaitu dibuatnya garis demarkasi serta tidak diperbolehkannya kedua tentara APRIS dan KNIL untuk mendekati dalam jarak 50 meter. Untuk sementara keadaan dapat diamankan. Perundingan pertama ini detailnya menghasilkan persetujuan untuk melokalisir tentara KNIL ditiga tempat . Namun rupanya persetujuan dimaksud tidak ditaati. Antara menerangkannya sebagai berikut : “Tetapi persetujuan tinggal persetujuan. Maka pada hari selasa pertempuran mulai lagi berjalan dengan sengit. Pertempuran yang paling sengit terjadi diempat tempat. Yaitu tangsi KNIL di Mariso, sekitar tangsi KNIL Matoangin, Boomstraat, sekitar Stafkwartier KNIL di Hogepad. Pertempuran sudah berjalan tiga hari tiga malam lamanya tetapi belum juga berhenti” (Kempen 1953:302). Pada ahir Juli 1950 pasukan KNIL dibubarkan. Muncul permasalahan baru. Mau dikemanakan para prajurit ex KNIL tersebut. Sebagian memang dilebur kedalam KL, sebagian lagi menunggu untuk diterima sebagai anggota APRIS. Namun masa penantian ini secara psikologis amat merisaukan para anggota tentara KNIL. Pertama mereka dianggap rakyat sebagai kaki tangan Kolonial Belanda, sementara disisi lain bekas majikannya tidak mengindahkan nasib mereka. Tmbullah usaha provokasi baru yang antara lain dilukiskan sebagai berikut : “Sesudah anggota KNIL di Makassar memperoleh kedudukan sementara sebagai anggota KL pada tanggal 26 Juli 1950 keadaan tidak bertambah baik, sebaliknya mereka terus menerus menimbulkan kesulitan-kesulitan. Mereka antara lain menentang dengan kekerasan usaha pimpinan tentara Belanda untuk menyerahkan alat tentaranya kepada tentara Belanda. Mereka sering menganiaya penduduk. Bendera-bendera kebangsaan (maksudnya Merah Putih) disekitar kampemen mereka turunkan dan ahir-ahir ini mereka dengan kejam membunuh perwira Indonesia yang bereda dekat kampemen ketika sedang mengunjungi keluarganya” (Antara 12/8/1950). Berbagai tindakan provokasi yang dilakukan para eks KNIL ternyata tidak mendapat tanggapan emosinal oleh APRIS. Sehingga terkesan APRIS terlalu sabar. Kesan sabar ini tertimpakan pada pucuk pimpinan APRIS Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur Kolonel AE Kawilarang. Pada saat itu Antara menulis : “Kemaren jam 17.00 Kawilarang telah mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil partai dan organisasi di Makassar. Dikatakannya bahwa ia mengerti akan kekecewaan rakyat terhadap tindakan APRIS yang oleh rakyat dianggap terlalu sabar dalam menghadapi segala percobaan (masudnya dari fihak KNIL) tetapi dikatakannya seterusnya bahwa dalam hal ini orang harus ingat bahwa APRIS adalah bagian resmi dari Pemerintah sedangkan KNIL dipandang sebagai tentara tamu selama mereka belum diorganisir dan semua itu terikat dalam perjanjian KMB yang harus dihormati. Kami cukup kuat dan pasti dapat menyelesaikan segala sesuatu dengan senjata tetapi dengan demikian keadaan akan bertambah kacau dan nama negara kita dimata dunia akan surut. (Antara 3/6/1950). Dua hal yang antagonis antara provokasi yang dilakukan tentara KNIL dan kesabaran pucuk pimpinan APRIS tersebut menimbulkan dilema dalam menetapkan kebijaksanaan yang akan diambil APRIS selanjutnya. Apalagi kemudian rakyat Makassar semakin mempertajam sikap mereka terhadap tentara KNIL dengan melakukan pemboikotan seluruh kegiatan perdagangan dari dan ke markas-markas KNIL. Suasana tegang ini ibarat bisul yang akan meletus sewaktu-waktu.
Agar APRIS tidak keliru mengambil langkah dalam mengantisipasi ketegangan yang semakin tinggi pada tgl 5 Agustus 1950, APRIS setuju untuk mengadakan perundingan dengan wakil militer Belanda di Indonesia. Pertemuan yang diikuti oleh tiga wakil tentara Belanda dan dihadiri pula oleh wakil dari UNCI, menyepakati sikap untuk mengendurkan ketegangan melalui APRIS yang berjanji akan mengadakan pendekatan kepada rakyat agar menghentikan boikot kepada tentara KNIL. Belum upaya mengendurkan itu dilakukan oleh APRIS, hari itu pula pada pukul 17.20 selang 80 menit dari usainya persetujuan tersebut tentara eks KNIL melakukan serangan sitematis keseluruh barak dan asrama tentara APRIS. Tindakan yang kelewat batas tersebut dan menghianati persetujuan, pantang ditolak oleh segenap pasukan APRIS, pejoang gerilya yang tergabung dalam Divisi Hasanudin serta rakyat Makassar. Dalam tempo sekejap memang tentara eks KNIL dapat menguasai medan pertempuran, namun keadaan cepat berubah beberapa jam kemudian. Pasukan APRIS yang didukung oleh kekuatan Udara dan Laut menghantam terus menerus barak-barak eks tentara KNIL. Belum lagi serangan-serangan dari pasukan Divisi Hasanudin dan rakyat. Tidak sampai 3 X 24 jam pasukan eks KNIL sudah terkepung dibarak-barak mereka. Ahirnya pada tanggal 8 Agustus 1950 bertempat dilapangan terbang Mandai diadakan persetujuan antara Kolonel AE Kawilarang yang mewakili APRIS dan Mayor Jendeal Scheffelaar sebagai wakil Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda di Indonesia. Merka sepakat agar seluruh anggota pasukan KL meninggalkan Makassar dan menyerahkan seluruh perlengkapannya kepada APRIS. Bagi mereka yang menolak akan dikeluarkan dari KL. Pada pukul 16.00 tanggal 8 Agustus dengan muka tertunduk malu dimulailah pasukan KL meninggalkan Makassar diiringi cemooh segenap rakyat. Dan untuk pertama kalinya sejak penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949, pasukan APRIS pantas bertepuk dada karena telah memenangkan perang dan mengusir pasukan KL tampa syarat. Merah Putih telah tegak berdiri menggantikan Merah Putih Biru untuk selama lamanya. Kemenangan ini tidak lepas dari dukungan seluruh rakyat termasuk para pejoang gerilya yang telah bahu membahu berjoang dengan pasukan APRIS.
Sebuah fenomena monumental yang mencatat dengan tinta emas dalam buku sejarah Nasional kebesaran TNI. Walau bagaimanapun TENTARA KITA pernah jaya dan akan tetap jaya untuk selama-lamanya. Hal ini antara lain disebabkan karena pucuk pimpinannya sangat cermat dan memiliki kewaspadaan serta kedalaman berfikir dalam mengatur strategi. Mungkin inilah kelebihan Kolonel AE Kawilarang.

PERISTIWA MADIUN 1948, KONSPIRASI POLITIK KAUM KOLONIALIS / IMPERIALIS MELIKUIDASI RI

PERISTIWA MADIUN 1948, KONSPIRASI POLITIK KAUM KOLONIALIS / IMPERIALIS MELIKUIDASI RI oleh LPR-KROB, LPKP 65, Pakorba
Pada tanggal 29 Januari 1948 Kabinet Hatta dibentuk dengan programnya:Melaksanakan hasil persetujuan Renville. Mempercepat terbentuknya Negara Indonesia Serikat (berserikat juga dengan Belanda) Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang RI (RERA) Pembangunan.Pemerintahan Hatta inilah yang dinilai oleh kaum kiri sebagai pemerintahan yang paling tunduk dan akan menyerahkan kedaulatan RI kepada Belanda, sehingga timbul ketidakpuasan yang luas terutama karena ada rencana dari Hatta untuk merasionalisasi TNI kemudian membentuk tentara federal bekerjasama dengan Belanda.- Mulai bulan Februari 1948 Kolonel A.H. Nasution bersama Divisi Siliwangi hijrah dari Jawa Barat menuju Yogyakarta sebagai pelaksanaan dari perjanjian Renville kemudian ditempatkan tersebar di wilayah Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur khususnya di daerah yang kekuatan kaum kirinya cukup kuat seperti di Solo dan Madiun yang dimaksudkan untuk persiapan membersihkan kaum kiri tersebut. Pasukan Siliwangi tersebut segera menjadi pasukan elite pemerintah Hatta dengan kelengkapan tempur yang lebih baik sehingga timbul iri hati pada pasukan di luar Divisi Siliwangi.- Pada bulan April 1948 terjadi demonstrasi terutama dari pelajar di Jawa Timur menentang Rasionalisasi dan Rekonstruksi.- Pada bulan Mei 1948 di Solo tentara Divisi Panembahan Senopati melakukan demonstrasi menentang RERA.- Pada tanggal 2 Juli 1948 komandan Divisi Panembahan Senopati Kolonel Sutarto dibunuh oleh tembakan senjata api orang tak dikenal, kemudian diikuti dengan penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa orang kiri antara lain Slamet Widjaya dan Pardio serta beberapa perwira dari Divisi Panembahan Senopati a.l. Mayor Esmara Sugeng, Kapten Sutarto, Kapten Suradi, Kapten Supardi dan Kapten Mudjono diduga kuat dilakukan oleh Divisi Siliwangi sebagai kepanjangan tangan pemerintahan Hatta, walaupun kemudian pembunuh Kolonel Sutarto ditangkap tetapi pemerintah tidak mengadilinya bahkan oleh Jaksa Agung ketika itu malahan dibebaskan dengan alasan tidak dapat dituntut secara hukum (yuridisch staatsrechtelijk).- Penculikan dan pembunuhan ini terus berlanjut terhadap orang-orang kiri maupun anggota Divisi Panembahan Senopati sehingga menimbulkan keresahan dan suasana saling curiga-mencurigai dan ketegangan tinggi.- Pada tanggal 21 Juli 1948 diadakan pertemuan rahasia di Sarangan Jawa Timur antara Amerika Serikat yang diwakili oleh Gerard Hopkins (penasihat urusan politik luar negeri) dan Merle Cochran (Wakil AS di Komisi Jasa-Jasa Baik PBB) dengan 5 orang Indonesia yaitu: Wakil Presiden Moh. Hatta, Natsir, Sukiman, R.S. Sukamto (Kapolri) dan Mohammad Rum yang menghasilkan rencana kompromi berupa likuidasi bidang ekonomi, politik luar negeri, UUD 45 dan juga Rekonstruksi dan Rasionalisasi (RERA) di bidang Angkatan Perang dengan menyingkirkan orang-orang (pasukan) yang dicap sebagai golongan kiri/merah, dan ini terkenal dengan Red Drive Proposal atau usulan pembasmian kaum kiri.- Pada tanggal 13 September 1948 terjadilah pertempuran antara Divisi Panembahan Senopati dibantu ALRI melawan Divisi Siliwangi yang diperkuat pasukan-pasukan lain yang didatangkan ke Solo oleh pemerintah Hatta.- Pada tanggal 15 September 1948 dilakukan gencatan senjata yang disaksikan juga oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman, petinggi-petinggi militer RI dan juga Residen Sudiro. Divisi Panembahan Senopati mentaati gencatan sejata namun lawan terus melakukan aksi-aksi yang agresif dan destruktif.- Sementara itu sebagian anggota Politbiro CC PKI yang tinggal di Yogyakarta memutuskan untuk berusaha keras agar pertempuran di Solo dilokalisasi dan mengutus Suripno untuk menyampaikan hal tersebut kepada Muso, Amir Syarifudin dan lain-lain yang sedang keliling Jawa. Rombongan Muso menyetujui putusan tersebut. Jadi dalam hal ini kebijaksanaan PKI sesuai atau sejalan dan menunjang kebijakan Panglima Besar Jenderal Soedirman.- Sementara itu penculikan-penculikan dan pembunuhan terhadap orang-orang dan personil militer golongan kiri semakin mengganas dengan puncaknya pada tanggal 16 September 1948 markas Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) di Jalan Singosaren Solo diserbu dan diduduki oleh kaki tangan Hatta (Siliwangi) sehingga pertempuran Solo semakin menghebat.- Aksi pembersihan orang-orang kiri ini tidak hanya terjadi di Solo tetapi meluas ke Madiun dan daerah lainnya dan hasil RERA ini TNI yang tadinya berkekuatan 400.000 hanya tinggal 57.000. Sementara itu ancaman Belanda masih di depan mata terbukti kemudian dengan Agresi Militer Belanda ke II.- Oleh pemerintah Hatta didatangkanlah ke Madiun pasukan-pasukan Siliwangi yang langsung menduduki beberapa pabrik gula, mengadakan latihan-latihan militer serta menindas para buruh pabrik gula dengan membunuh seorang anggota Serikat Buruh Gula bernama Wiro Sudarmo serta melakukan pemukulan-pemukulan dan intimidasi terhadap para buruh. Penempatan pasukan ini tidak dilaporkan kepada komandan Teritorial Militer setempat sehingga menimbulkan keteganga dan kemudian kesatuan militer setempat yaitu Brigade 29 atas persetujuan Komandan Teritorial Militer setempat bergerak melucuti pasukan Siliwangi.- Dalam keadaan panas, kacau dan tak terkendali itu, karena Residen Madiun tidak ada di tempat dan Walikota sakit, maka pada tanggal 19 September 1948 Front Demokrasi Rakyat (FDR) mengambil prakarsa untuk mengangkat Wakil Walikota Madiun Supardi sebagai pejabat residen sementara dan pengangkatan ini telah disetujui baik oleh pembesar-pembesar sipil maupun militer dan dilaporkan ke pemerintah pusat di Yogyakarta serta dimintakan petunjuk lebih lanjut. Peristiwa inilah yang mengawali apa yang disebut sebagai “Peristiwa Madiun”.- Pada tanggal 19 September 1948 malam hari pemerintah Hatta menuduh telah terjadi “Pemberontakan PKI” sehingga dikerahkanlah kekuatan bersenjata oleh Hatta untuk menumpas dan menimbulkan konflik horisontal dengan korban ribuan orang terbunuh, baik golongan kiri, tentara maupun rakyat golongan lain.- Pada tanggal 14 Desember 1948 sebelas orang pemimpin dan anggota PKI dibunuh di Dukuh Ngalihan Kelurahan Halung Kabupaten Karanganyar Karesidenan Surakarta pada jam 23.30 yaitu: 1. Amir Syarifudin, 2. Suripno, 3. Maruto Darusman, 4. Sarjono, 5. Dokosuyono, 6. Oei Gee Hwat, 7. Haryono, 8. Katamhadi, 9. Sukarno, 10. Ronomarsono, 11. D. Mangku. Sementara itu lebih kurang 36.000 aktivis revolusioner lainnya ditangkap dimasukkan dalam penjara dan sebagian dibunuh tanpa proses hukum a.l. di penjara Magelang 31 anggota dan simpatisan PKI, di Kediri berpuluh-puluh orang termasuk Dr. Rustam, anggota Fraksi PKI dan BP KNIP, di Pati antara lain Dr. Wiroreno dan banyak lagi yang lainnya.- Berdasarkan fakta pada saat Amir Syarifudin menjadi Perdana Menteri dan memimpin pemerintahan, karena dikhianati dalam Perjanjian Renville maka secara kesatria dan demokratis menyerahkan kembali mandat pemerintahan kepada Presiden Soekarno, sehingga sangat naif menuduhnya bersama golongan kiri melakukan pemberontakan dan membentuk pemerintahan Soviet-Madiun.- Amir Syarifudin bekas Perdana Menteri Republik Indonesia yang juga berada di kota itu (Madiun) telah membantah segala sesuatu yang disiarkan dari Yogyakarta pada masa itu. Penjelasannya melalui radio, “Undang-Undang Dasar kami adalah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, bendera kami adalah Merah Putih dan lagu kebangsaan tidak lain dari Indonesia Raya”, seperti disiarkan pada tanggal 20 September 1948 oleh Aneta, kantor berita Belanda di Indonesia.- Bahwa kolaborasi antara pemerintah Hatta dengan pihak kolonialis Belanda maupun imperialis Amerika Serikat dengan sekutu-sekutunya telah berhasil memecah belah persatuan dan kesatuan serta membelokkan jalannya revolusi Indonesia.- Pada tanggal 19 Desember 1948 itu pula Belanda menyerbu dan menduduki Yogyakarta dengan perlengkapan perang bantuan Amerika, hal itu terjadi setelah politik Red Drive Proposal sukses dilaksanakan oleh pemerintah Hatta demi tercapainnya persetujuan Roem-Royen yang merugikan RI yang dilanjukan dengan terselenggaranya Konferensi Meja Bunda (KMB) yang dimulai pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai 2 November 1949, dan kemudian lahirlah Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan konstitusi RIS-nya dan hasil yang sangat merugikan Indonesia a.l. Irian Barat masih di tangan Belanda dan hutang Hindia Belanda sebesar US$1,13 milliar menjadi tanggungan RI (hutang ini antara lain adalah biaya untuk memerangi RI), juga terjadi penurunan pangkat dalam APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) bila menjadi APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat).- Pada tahun 1954, meskipun sudah kadaluwarsa, Aidit dihadapkan pada pengadilan di Jakarta mengenai Peristiwa Madiun. Dalam hal ini PKI dituduh mengadakan kudeta. Dasarnya adalah pidato Hatta yang menyatakan entah benar entah tidak bahwa PKI mendirikan negara Soviet di Madiun dengan mengangkat wakil walikota Supardi jadi Residen sementara untuk mengisi kekosongan. Ini dianggap melanggar KUHP pasal 310 dan pasal 311. Dalam persidangan Aidit, diminta agar Moh. Hatta tampil sebagai saksi. Jaksa menyatakan keberatan atas pembuktian yang akan diajukan oleh Aidit, maka jaksa harus mencabut tuduhan pasal-pasal tersebut di atas. Pada akhirnya keberatan jaksa dan tuduhan terhadap Aidit melanggar pasal 310 dan pasal 311 KUHP dicabut. Karenanya Aidit tak dapat dituntut dan bebas tanpa syarat.Kesimpulan dari peristiwa Madiun : Pihak imperialis kolonialis pimpinan Amerika Serikat dalam menerapkan politik pembersihan kaum kiri (Red Drive Proposal) di Indonesia sebagai bagian makro politiknya untuk membendung komunisme, telah mempengaruhi pemerintah Hatta agar mau membersihkan orang-orang kiri (komunisme) dari pemerintahan, terutama dari Angkatan Perang sebagai salah satu syarat mutlak pengakuan negara Republik Indonesia oleh dunia internasional (pihak barat). Pemerintah Hatta menerima dan melaksanakan tawaran tersebut antara lain dengan membuat program Reorganisasi dan Rasionalisasi (RERA) di lingkungan angkatan perang yang kemudian menimbulkan gelombang penolakan yang luas. Untuk meredam penolakan tersebut dilakukan upaya-upaya yang sistematis, antara lain dengan melakukan teror berupa pembunuhan, penculikan, penahanan, dan intimidasi lainnya terutama kepada kaum kiri, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Solo. Peristiwa Madiun sama sekali bukanlah pemberontakan PKI apalagi fitnah bahwa PKI telah mendirikan Negara Soviet Madiun, tetapi merupakan rekayasa jahat pemerintah Hatta guna mendapatkan momen (kondisi dan situasi) yang tepat untuk dapat digunakan sebagai dalih (dasar) untuk menyingkirkan (membasmi) golongan kiri dari pemerintahan maupun angkatan perang, yang kemudian mendapat perlawanan dari rakyat yang konsekuen anti kolonialis/imperialis.

Muhammad Hoesni Thamrin


MUHAMMAD HUSNI THAMRIN
Muhammad Hoesni Thamrin adalah sosok tokoh pergerakan politik periode menjelang perang dunia ke II (tahun 40-an). Saat itu tidak bisa dibandingkan dengan tahun 20-an atau 30-an dimana unsur radikalisme masih menjadi cirri. Sebagimana diketahui sejak berahirnya kekuasaan Gubernur Jenderal van Limburg Stirum (1916-1921), maka berahirlah kebebasan politik bagi partai-partai radikal. Pengganti van Limburg Stirum, Foch (1921-1926) dan dan de Graeff (!926-1931). Lebih-lebih de Jonge (1931-1936) adalah pimpinan pemerintahan Hindia Belanda bertangan besi. Tidak heran kalau PKI (1926), kemudian PNI dibubarkan pada tahun 1931 dan Pendidikan Nasional Indonesia pada tahun 1934 praktis juga bubar. Banyak tokohnya yang ditangkap lalu sebagian dibuang kepengasingan seperti Digul, Flores, Banda dan tempat lainnya. Maka sejak tahun 1934 gerakan anti kolonialisme radikal yang dasarnya non koperasi benar-benar sudah padam. Menyambung keterangan tentang Thamrin, pada tahun 1935 partai-partai non radikal atau moderat seperti Partai Bangsa Indonesia (PBI) dan Budi Utomo berfusi menjadi PARINDRA (Partai Indonesia Raya) dengan tujuan pada ahirnya kemerdekaan juga tapi bekerja sama dengan Belanda (sering disebut partai Co). Partai-partai ini sifatnya sekuler non Islam. Beberapa pemimpinnya memandang Jepang sebagai model perjuangan baru. Husni Thamrin adalah salah seorang pimpinan PARINDRA. Pengganti PNI, PARTINDO juga bubar pada tahun 1937. Sebagai gantinya didirikan GERINDO. Dalam GERINDO aktif para pemuda ex partai radikal, seperti Yamin dan Amir Sjarifudin. Meskipun tujuan GERINDO adalah parlemen penuh bagi Indonesia, tapi tetap berciri kerja sama dengan Belanda. Tahun 1939 berdiri GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang tujuannya juga pembentukan parlemen penuh Indonesia. Tetapi Belanda yang kaku tidak bisa mengikuti perkembangan dunia dan tetap tidak menyadari bahwa kaum Co juga bertujuan baik. Ketika Perang Dunia ke II sudah diambang pintu, pemerintah Hindia Belanda melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai bekerja sama dengan Jepang. Diantaranya adalah Dowes dekker dan Husni Thamrin. Thamrin meninggal dalam tahanan rumah hari Sabtu tanggal 11 Januari 941. Dari keterangan diatas nampak bahwa Husni Thamrin adalah tokoh pergerakan anti kolonialisme yang mengawali semangat perjuangan Revolusi Kemerdekaan 1945-1949. Tidak salah seperti perkataan Hary Poeze dalam bukunya Bob Hearing “Mohammad Husni Thamrin” mengatakan (hal 396) : Segala hal yang tidak benar tersebut membuat orang berasumsi bahwa Revolusi Indonesia 1945 merupakan ledakan tak terduga, disiapkan terutama dengan dukungan aspirasi Jepang. Ia memandang bibit revolusi dan akarnya telah mulai muncul jauh sebelum 1942, sejak permulaan 1940-an.

PERISTIWA MADIUN


PEMBERONTAKAN PKI MADIUN 1948, AWALNYA
KONFLIK SESAMA GOLONGAN KIRI YANG ANTI IMPERIALIS ?
Sesudah pekan olah raga nasional (PON) 1948 di Solo, kota Solo mengalami peristiwa yang kemudian ternyata suatu permulaan keributan besar “Pemberontakan PKI”. Dipimpin Muso dikota Madiun. Di zaman Revolusi memang kota Solo terkenal sebagai kota “ruwet”, walaupun tampaknya keluar saban malam pertunjukan Sriwedari dimana masyarakat penuh bergembira ria. Tapi dibelakang tabir poltik berjalan pertentangan pertentangan antara partai golongan “Murba” (antara lain anggotanya GRR dan barisan Banteng) dengan partai-partai dari golongan FDR (Front Demokrasi Rakyat terdiri dari PKI, partai buruh, Pesindo dan lain-lain). Keduanya menamakan diri sebagai partai kiri anti imperialis. Pertentangannya antara lain soal pro dan anti Linggarjati. Selain itu juga pertentangan antara pimpinannya. Pertentangan ini nampak, misalnya dengan adanya perang pamflet GRR dan Banteng yang berbunyi : “Awas waspada kawan, Hijroh tidak memusuhi rakyat kawan, Hijroh membasmi penghianat, penjual negara (Amir Setiadjid dan CS nya). Tertanda Barisan Banteng. Pamflet lain berisi, Siapakah pentjulik2nya Dr Muwardi ?. (Hijroh adalah istilah untuk pasukan Siliwangi yang hijrah ke Jawa Tengah pada tahun 1948. FDR adalah kelanjutan kekuatan sayap kiri penguasa pemerintah 1946-1947 dibawah kabinet Sjahrir dan Amir. Mereka merupakan kekuatan politik yang menyelenggarakan perundingan Indonesia-Belanda antara lain dalam perundingan Linggarjati dan Renville. Dr Muwardi adalah pimpinan barisan Banteng yang diculik dan tidak diketahui rimbanya sampai sekarang). Maka terjadilah kegiatan culik menculik dan pembunuhan. Konflik menjadi melebar ketika kesatuan tentara simpatisan masing-masing kelompok melakukan tembak menembak. Isu-isu yang muncul misalnya : Tentara hijrah Siliwangi kena provokasi ? FDR ?, GRR ?, Provokasi anasir-anasir kanan reaksioner. Baru ketika Madiun meletus (September 1948), pemerintah dapat melihat keadaan sebenarnya dengan jelas dan tegas. PKI Muso mengadakan pemberontakan yang kejam dan berbahaya. Para pemimpin mereka merupakan tokoh sayap kiri yang kemudian membentuk FDR, yaitu Wikana, Maruto Darusman, Alimin, Muso, Amir Sjarifudin, Abdul Madjid, Setiadjid. Sebenarnya pemberontakan kaum PKI (pimpinan Muso dan Amir) dari Madiun bisa dipandang sebagai suatu konsekwensi yang meletus karena oposisi yang runcing antara Amir cs, sejak ia jatuh dari kabinet pemerintahan dan diganti oleh Hatta dengan bantuan Masyumi dan PNI. Oposisi Amir cs, makin hari makin tajam. Dimana-mana terjadi demonstrasi dan pemogokan. Agitasi poitik sangat mempertajam pertentangan politik dalam negeri. Ketika Muso datang dari luar negeri dan bergabung dengan Amir cs, maka politik PKI-FDR makin dipertajam, maka meletuslah peristiwa Madiun tersebut. Mr Amir Sjarifudin adalah seorang pemimpin rakyat yang “brilliant”. Rupanya bersama dengan golongannya, tak dapat sabar menahan kekalah politiknya didalam pemerintahan. Ia jatuh dan menilik gelagatnya, ta’kan dapat segera tegak kembali dalam pimpinan pemerintahan dan pimpinan Revolusi. Ia berkeliling berpidato, dan partainya beragitasi. Tanah-tanah bengkok desa dibagikan. Sering rakyat dan tentara dihasut untuk melawan pemerintah Hatta. Pemerintah dituduhnya terus mengalah pada kaum kapitalis-reaksioner. Segala usaha dilakukan untuk menjatuhkan pemerintahan kabinet Hatta. Ketika pemberontakan meletus, pemerintah tidak tinggal diam. Presiden Soekarno berpidato pada tanggal 19 September 1948 untuk menghantam dan menghancurkan pengacau-penbacau negara. Kekuasaan negara kemudian dipusatkan ditangan Presiden dan segala alat negara digerakkan untuk menindas pemberontakan itu. Pemberontakan Madiun disebutkan Bung Karno : “Suatu tragedi nasional pada saat pemerintah RI dan rakyat dengan segala penderitaan, sedang menghadapi lawan Belanda, maka ditusuklah dari belakang perjuangan nasional yang maha hebat ini. Tenaga nasional, tenaga rakyat terpecah, terancam dikacau balaukan. Pemerintah daerah Madiun, tiba-tiba dijatuhkan dengan kekerasan dan pembunuhan2, Pemerintah “merah” didirikan dengan Gubernur Militernya bernama “pemuda Sumarsono” dan dari kota Madiun pemberontakan diperintahkan kemana-mana. Bendera merah dikibarkan sebagai bendera pemberontakannya. Oleh pemerintah pusat segera dilakukan tindakan-tindakan untuk memberantas pemberontakan dan kekacauan. Pasukan TNI digerakkan ke Madiun. Dilakukan penangkapan terhadap pengikut PKI-Muso. Ternyata banyak ditemui, rakyat yang tidak menyokong aksi PKI-Muso tersebut. Juga banyak ditemui pengikut FDR tidak menyetujui aksi melawan pemerintah yang secara kejam itu. Namun perusakan dan pembunuhan itu telah terjadi serta tidak dapat dicegah. TNI yang datang ke Madiun, menyaksikan itu semua dengan sedih dan ngeri . Maka Presiden melalui corong radio RRI berseru : “Tidak sukar bagi rakyat, “Pilih Sukarno Hatta atau Muso dengan PKI nya”. Tentara yang bergerak ke Madiun, mendapat bantuan rakyat sepenuhnya Dan Pemerintah mendapat pernyataan setia dari mana-mana. Dari Jawa dan Sumatera. Ahirnya pada tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat direbut kembali oleh TNI. Para pemberontak banyak yang tertangkap. Sejumlah pengacau langsung dapat diadili ditempat secara militer. Didaerah lain seperti didaerah Purwodadi, Pati, Bojonegoro, Kediri dan sebagainya, cabang-cabang pemberontak dapat ditindas. Berminggu-minggu pemimpin pemberontak serta pasukannya dikejar terus. Ahirnya mereka tertangkap juga. Muso sendiri terbunuh dalam tembak menembak ketika hendak ditangkap disebuah desa dekat Ponorogo. Setelah keadaan aman, pemerintah memperingati korban-korban yang telah jatuh karena pemberontakan Madiun. Dari TNI gugur sebanyak 159 orang anggauta-anggautanya selaku pembela negara. (diambil dari tulisan pada buku “LUKISAN REVOLUSI RAKYAT INDONESIA” 1945-1949. yang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan Republik Indonesia pada bulan Desember 1949).

Selasa, 18 April 2006

PROTOKOL HOGE VELUWE


“PROTOKOL HOGE VELUWE”. Sebuah renungan*
Pada tanggal 29 April 1946, 60 tahun yang lalu telah diterbitkan sebuah Protokol (semacam draft awal dari negosiasi diplomatic atau draft dokumen perjanjian sebenarnya) perundingan Indonesia-Belanda yang berlangsung di Hoge Veluwe.
Sedikit mengenai Hoge Veluwe. Ini adalah sebuah daerah wisata hutan lindung yang indah, yang terletak ditengah negeri Belanda. Ditengah hutan yang dahulu adalah tempat berburu itu, terdapat sebuah Istana kecil yang pernah dimiliki keluarga Kröller-Müller. Kini sebagai daerah wisata, tempat rekreasi alam ini dilengkapi dengan danau yang indah, jalan untuk bersepeda dan sebuah museum yang memamerkan banyak lukisan pelukis Belanda terkenal, termasuk dari Vincent van Gogh.
Pada istana kecil perburuan (Hunting lodge) yang disebut diatas mulai tanggal 14 April 1946 sampai dengan 24 April 1946 berlangsung perundingan yang sangat a lot, antara utusan Indonesia yaitu Mr Soewandi (menteri kehakiman), Dr Soedarsono (ayah Men.HanKam Juwono Soedarsono yang saat itu menjabat menteri dalam negeri) dan Mr Abdul Karim Pringgodigdo. Dengan delegasi Pemerintah Belanda yang dimpimpin langsung Perdana menteri Schermerhorn. Dalam delegasi ini terdapat Dr Drees (menteri sosial), J.Logeman (menteri urusan seberang), J.H.van Roijen (menteri luar negeri) dan Dr van Mook (selaku letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda).
Sebenarnya ada sesuatu yang terjadi yang membuat pada awalnya perundingan ini tidak enak. Sebagaimana diketahui mengawali perundingan di Hoge Veluwe ini, di Indonesia telah terjadi pertemuan-pertemuan penting antara pejabat Hindia Belanda dan Republik Indonesia. Namun perundingan yang masing-masing dipimpin oleh van Mook dan Sutan Sjahrir itu, amat diabaikan dengan Pemerintah Belanda di Den Haag. Jadi meskipun van Mook dan Sjahrir telah mendapat kata sepakat tentang dasar-dasar persetujuan perundingan Indonesia-Belanda. Bahkan perundingan ini sudah ditengahi tokoh penengah Inggris, Archibald Clark Kerr (yang kemudian menjadi Lord Inverchapel). Namun sekali lagi Den Haag tidak mau memperhatikannya sama sekali. Alasan pemerintah Belanda saat itu karena untuk dapat menerima hasil perundingan di Indonesia, Undang-undang Dasar Belanda harus berubah dahulu. Ini akan makan waktu lama. Padahal Belanda sedang menghadapi pemilihan umum yang tidak beberapa lama lagi akan berlangsung.
Adapun dasar perundingan yang sudah amat mendekati pemikiran antara delegasi Indonesia-Belanda untuk mencapai persetujuan dekolonisasi itu bernama “Batavia Concept”. Dokumen ini terdiri dari 7 pasal dan disepakati pada tanggal 30 Maret 1946. Isinya secara garis besar adalah : Pengakuan defakto atas Republik Indonesia yang meliputi Jawa dan Sumatera. Menerima dan bersahabat pada pasukan sekutu termasuk pasukan Belanda, sekali gus menghentikan permusuhan. Pembentukan negara Indonesia merdeka yang berazazkan federasi yang meliputi semua bagian Hindia Belanda (belakangan istilah yang dipakai adalah Republik Indonesia Serikat/RIS). RIS nantinya akan bersekutu dalam ketatanegaraan yang meliputi Nederland, Suriname dan Curacao (nantinya bernama Uni). Juga dibicarakan soal tatangera RIS, hubungan luar negeri dan perwakilan dari negara bagian yang disetujui RI lebih dahulu. Juga disepakati bahwa perundingan dapat dilakukan di Yogyakarta, Jakarta atau Den Haag.
Tapi ahirnya materi yang awalnya dijagokan van Mook ini karena atas inisiatipnyalah meniru penyelesaian dekolonisasi di Indochina (perundingan Vietnam yang dipimpin Ho Cin Min dan Pemerintah Perancis, yang diberi nama “Union Francaise” pada tanggal 6 Maret 1946), pupus sudah. Sebabnya karena Pemerintah kabinet Schermerhoran justru membuat draft baru yang diberi nama “Protokol” sebagai dasar perundingan Indonesia-Belanda di Hoge Veluwe.
Konsep Protokol yang diterbitkan pada tanggal 29 April 1946 sebagai hasil perundingan berbunyi sebagai berikut :
1.Pemerintah Belanda akan berusaha dan mendorong melalui konstitusional agar didalam waktu yang secepat mungkin dibentuk suatu negara merdeka di Indonesia berdasarkan federasi sesuai pernyataan pemerintah tanggal 10 Februari 1946 yang mencakup semua wilayah Hindia Belanda dan merupakan mitra Nederland, Suriname dan Curacao dalam ruang lingkup Kerajaan Belanda.
2.Pemeribntah Belanda mengakui bahwa yang mewakili Pulau jawa terkecuali wiilayah yang dikuasai Pemerintah Militer Sekutu adalah Pemerintah Republik Indonesia yang berkuasa secara defakto. Pemerintah Belanda mencatat dan memperhatikan tuntutan Republik Indonesia bahwa kekuasaannya termasuk Sumatera. Sumatera dan bagian lain Hindia belanda kemudian akan diberi kesempatan menyatakan secara bebas keinginannya mengenai status mereka dalam negara merdeka Indonesia.
3.Pemerintah Republik akan bekerja sama dengan Pemerintah Belanda dalam membangun negara merdeka Indonesia. Sambil menunggu terwujudnya negara merdeka Indonesia, Republik bertanggung jawab didaerah kekuasaan defaktonya untuk memulihkan kembali dan mempertahankan hukum dan keamanan, perlindungan terhadap orang dan hartanya, dan dengan segera membebaskan dan menjaga keamanan para interniran. Jika Republik tidak sanggup melaksanakan tugas itu, Badan-badan Pemerintah Belanda akan melaksanakan kewajiban tersebut.
4.Pemerintah Republik akan menerima baik pasukan sekutu dan Belanda yang tiba di Pulau Jawa berdasarkan keputusan Panglima tertinggi sekutu. Dan membantu mereka dalam melaksanakan tugas menawan dan melucuti senjata tentara Jepang, serta membebaskan para interniran dan tawanan perang. Cara melaksanakan tugas ini akan diatur oleh instansi yang bersangkutan.
5.Permusuhan akan segera dihentikan dengan syarat kedua belah pihak dengan memperhatikan pasal 4, akan mempertahankan kedudukan masing-masing termasuk hubungan antara kedudukan itu. Mereka secepatnya akan mengadakan pembicaraan mengenai kerja sama dalam pelaksanaan peraturan ini.
6.Untuk mempersiapkan konperensi kerajaan (Rijks Conferentie) Pemerintah Belanda dalam waktu dekat akan mengadakan pembicaraan dengan Republik dan dengan wakil-wakil, dari bagian lain dari Indonesia dan dengan kelompok penduduk yang tidak termasuk Warga negara Indonesia. Pembicaraan tersebut mengenai bentuk negara Indonesia merdeka, kedudukan dalam hubungan ketatanegaraan bersama, hubungan dengan kekuasaan asing, kerja sama dengan Nederland, dan hal memenuhi kepentingan materi dan kebudayaan warga Belanda dan asing di Indonesia. Pembicaraan itu akan diadakan di Indonesia atu Nederland.
7.Peraturan mengenai penunjukan wakil-wakil dari Sumatera, terkecuali wilayah yang diduduki pemerintahan militer sekutu, akan dilaksanakan oleh Pemerintah Belanda setelah diadakan pembicaraan dengan Pemerintah Republik. Mengenai penunjukan wakil-wakil bagian lain Indonesia dan wakil-wakil kelompok penduduk yang tidak termasuk warga negara Indonesia akan diberi tahukan kepada Pemerintahan Republik. Daerah-daerah dan kelompok-kelompok tersebut juga berhak untuk menyerahkan perwakilannya kepada Pemerintah Republik. Pemerintah Republik akan mengusahakan adanya perwakilan dari golongan minoritas Indonesia dalam kekuasaan defaktonya dan memberitahukan kepada Pemerintah Belanda peraturan yang dibuat untuk perwakilan-perwakilan tersebut.
8.Apabila suatu daerah melalui pernyataan perwakilannya masih mempunyai keberatan terhadap masuknya tak bersyarat kedalam negara merdeka itu untuk daerah yang bersangkutan, untuk sementara waktu akan diberikan kedudukan istimewa dalam negara Indoneasia merdeka yang akan dibentuk.
9.Sambil menunggu terwujudnya negara Indonesia merdeka berdasarkan federasi dan untuk menyesuaikan pemerintahan umum di Hindia Belanda dengan butir-butir persetujuan tersebut, dalam badan-badan pemerintahan Hindia Belanda segera akan dimasukkan wakil-wakil dari Republik Indonesia, wakil-wakil dari bagian Indonesia lain dan wakil-wakil kelompok penduduk yang tidak termasuk warga negara Indonesia.
10.Protokol ini disususn didalam bahasa Belanda dan Indonesia. Apabila terjadi perbedaan penafsiran naskah bahasa Belanda yang menentukan.**
Setelah selesai perundingan pada prinsipnya perundingan ini dianggap kurang mencapai tujuannya. Bahkan Dr Soedarsono memberikan pendapat umum bahwa perundingan Hoge Veluwe gagal sama sekali. Tapi pihak Belanda biarbagaimanapun juga mengatakan ada hal-hal baik yang telah dicapai. Misalnya Pemerintah Belanda menyetujuai berdirinya suatu negara Indonesia merdeka berdasarkan federasi yang akan menjadi mitra Belanda dalam ruang lingkup Kerajaan Belanda. Dengan demikian pihak Belanda sudah bergeser jauh pada pendapatnya sebagaimana disampaikan pada pernyataan tanggal 10 Februari 1946, yang semata-mata hanya ingin mengembalikan kekuasaan Kolonialnya. Setelah berahirnya perundingan Hoge Veluwe, pihak Belanda menitipkan 3 orang anggota tenaga bantuan selama perundingan, agar dapat menjelaskan hal-hal yang berkembang di Belanda mengenai masalah Indonesia kepada rakyat Indonesia. Mereka adalah Drs Saroso, Maruto Darusman dan Setiadjid. Ketiganya pulang ke Indonesia dalam rombongan delegasi Indonesia.***
*Disarikan dari buku Persetujuan Linggajati Prolog dan Epilog oleh Dr.Mr Ide Anak Agung Gde Agung.
**OBBNIB (Officieel Bescheiden Betreffende De Nederland-Indonesische Betreikingen) Deel IV, hal 188-190 – terjemahan Dr.Mr Ide Anak Agung Gde Agung.
***Maruto Darusman dan Setiadjid, setelah kembali ketanah air, menjadi tokoh sosialis yang handal. Dan pada pembangunan kembali kekuatan Komunis di Indonesia periode 1947-1948, mereka amat berperan. Keduanya aktif dalam FDR (Front Demokrasi Rakyat) yang ahirnya memunculkan Peristiwa Madiun tahun 1948.